Nolan [Nanda Tiara]

7 1 0
                                    


Sekali lagi, aku meneguk secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Angin berembus dengan lembut, membawa serta kesepian yang telah menemaniku selama kurang lebih lima belas tahun ini. Aku menyapukan pandangan, lalu menemukan seorang pemuda berjalan ke arahku dengan membawa bekal makanan di tangannya.

"Masuklah, aku membawa makanan kesukaanmu," ujarnya ketika melewatiku untuk masuk ke dalam rumah.

Aku mengekor di belakang.

"Kau harus berterimakasih padaku. Kau tahu? Aku menghabiskan semua uang yang kupunya untuk membeli ini."

Sembari menuang sup daging kesukaanku, pemuda itu terus mengoceh tanpa henti. Aku hanya memperhatikannya. Sesekali tertawa kecil untuk memberikan respon.

"Berbaik hatilah padaku, Joe. Toh hari ini adalah hari terakhirku di sini," ucapku diakhiri kekehan.

Joe menyodorkan semangkuk sup daging ke hadapanku, kemudian laki-laki itu mendudukkan diri di kursi. Menatapku, dia menghela napas.

"Kau sungguh akan pergi?" tanyanya.

Aku mengangguk. Detik berikutnya, dia tidak mengucapkan sepatah kata lagi, seolah membiarkanku untuk menyantap supnya dengan hikmat.

"Terimakasih supnya." Aku menyelesaikan aktivitas makanku lalu meneguk segelas air yang ada di meja.

Aku menatap Joe yang juga sedang menatapku. Dari binar matanya, aku tahu ada yang ingin disampaikan oleh laki-laki berusia delapan belas tahun itu.

"Terimakasih sudah menyelamatkanku dan merawatku," ujarnya datar yang membuatku tersenyum samar.

Sekelebat memori ketika aku menemukan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun melintas dalam benak. Anak laki-laki yang terpisah dari rombongan keluarganya dan tersesat di dalam hutan. Aku menemukannya dalam kondisi mengenaskan lalu merawatnya layaknya adikku sendiri. Mungkin itulah yang membuatnya merasa berutang budi padaku.

"Hei, apa kau tidak ingin memberitahuku kemana kau akan pergi? Setidaknya aku harus tau! Mungkin nanti aku bisa membuat kapsul waktu yang lain untuk menyusulmu!" tandasnya.

"Kau yakin mau mendengarnya?"

Joe mengangguk mantap. Aku hanya menggelengkan kepala melihat antusias laki-laki itu.

"Aku akan pergi ke masa lalu. Dan aku yakin kau akan terkejut melihat keadaan bumi lima belas tahun lalu," ucapku.

"Untuk apa kau ke sana?" tanyanya.

"Menemui seorang perempuan yang pernah ada dalam hidupku."

Pikiranku melayang. Memutar memori lima belas tahun lalu, ketika aku masih berumur dua puluh lima tahun. Saat itu pemikiranku masih labil. Aku terlalu naif, percaya dengan kalimat yang bilang, "kita akan turut bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia.". Kau tahu, kalimat itu adalah omong kosong. Buktinya aku menghabiskan waktu lima belas tahun ini untuk merasa kesepian.

"Sepenting itu ya, perempuan itu?"

"Iya. Dia yang membuatku menjadi ilmuwan seperti ini. Membuat kapsul waktu supaya bisa kembali bersamanya."

"Dia, bisa dibilang, sumber kebahagiaanku," sambungku.

"Siapa namanya?"

Aku tidak menjawab, hanya meresponnya dengan senyuman penuh arti.

***

Aku mendarat dengan selamat. Berhasil melintasi dimensi ruang dan waktu dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan. Sudah dua hari terlewat semenjak kedatanganku pertama kali di sini.

Aku beranjak dari ruangan itu, bersiap membaur bersama manusia-manusia lain seolah tidak ada hal menakjubkan yang baru saja terjadi. Sejujurnya aku masih merasa takjub dengan apa yang barusan aku alami. Namun fakta yang ada berkata, aku berhasil pergi ke masa lalu.

Lingkungan ini terasa tidak asing. Aku merasa sangat familiar dengan semua yang ada. Yang berubah hanya aku.

Usiaku yang sekarang sudah menginjak empat puluh tahun. Wajahku tidak serupawan dulu. Meski sempat bercukur semalam, rambut-rambut halus masih kentara di dagu. Rambut hitam legamku mulai memutih sedikit demi sedikit. Namun hal itu tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengannya. Aku harus memperbaiki apa yang menjadi penyesalan terbesarku selama ini.

Aku memasuki kafe yang sama dengan kafe yang terakhir kali aku masuki lima belas tahun lalu. Aroma kopi yang khas, yang selalu bisa menenangkan pikiran, terhirup begitu kakiku menginjakkan kaki di sini.

Aku melangkahkan kaki semakin ke dalam. Duduk di salah satu kursi sembari menunggu kedatangannya. Iya, kafe ini adalah tempat yang dia datangi setiap hari. Tempat pertama aku bertemu dengannya dan tempat dimana aku menyatakan cinta padanya. Tempat yang bersejarah, setidaknya untukku.

Beberapa menit berlalu, dentingan pintu kembali membuatku menoleh dan pada akhirnya mendapati perempuan itu di sana, berdiri dengan anggun dan cantik. Matanya yang teduh selalu bisa membuatku betah menatapnya dalam-dalam.

Secara refleks, aku melangkahkan kaki ke arahnya. Dengan senyuman yang membingkai wajah, perasaan senang dan rindu yang tak terbendung, aku berjalan semakin dekat. Ketika jarak kami tinggal beberapa senti, dia menoleh.

Aku tersenyum semakin lebar.

"Mikayla Portland?"

Dia mengernyit, merasa bingung dengan situasi yang terjadi. Seorang pria berusia empat puluh tahunan yang tidak dikenalnya tiba-tiba menghampiri dengan mata berkaca-kaca. Aku mengerti apa yang ada di raut wajahnya sekarang.

Aku menyodorkan tangan, "Aku Nolan. Senang berkenalan denganmu."

TAMAT.


Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now