Cahaya Bayangan [Daffa]

4 2 1
                                    

"Pernahkah kamu mempertanyakan bagaimana dunia terbentuk atas dua komponen?" Laki-laki itu menatap kearah kami dengan tatapan bertanya. Jubah hitam yang menutup seluruh penampilan dirinya membuat dia susah untuk dikenali selain oleh jubah itu.

"Dua komponen, guru?" tanyaku kepadanya. Dia menganggukkan kepalanya, memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

"Benar. Dua komponen. Dua komponen yang membentuk dunia dan perjalanan kita di dunia ini pula."

Temanku yang duduk di kananku mengajukan pertanyaan lain, "apa saja dua komponen itu, tuan guru?"

"Apa ya?" Dia tampak berpikir sejenak, seakan memikirkan sesuatu.

Sepersekian detik berikutnya, jari telunjuk tangan kanannya berdiri seperti orang yang tercerahkan. "Sesuatu yang bersinar terang, dan sesuatu yang selalu mengikutinya."

"Sesuatu yang bersinar terang?" tanya temanku yang duduk di kiriku.

"Sesuatu yang selalu mengikutinya?" tanya temanku yang duduk di kanan temanku yang bertanya tentang dua komponen itu.

"Sepertinya saya tahu," komentarku. Guru tampak diam, tetapi entah mengapa dia seakan tersenyum, atau hanya perasaanku saja.

"Katakan saja, aku yakin kamu benar," ucap beliau.

"Cahaya," aku memberikan sebuah jeda, "Bayangan."

"Benar. Aku yakin perjalanan hidup kalian akan menemui keduanya."

Hati di senja itu terasa berat. Baru saja berita menyedihkan masuk ke telingaku, dan sekarang aku berusaha tegar dibalik luka dari berita itu.

"Maafkan saya, teman anda tidak dapat kami selamatkan."

Kalimat itu terdengar putus asa di telingaku.Wajah bersalah laki-laki berbaju putih itu kala aku mendengar kalimatnya seakan menyatakan sebuah 'maafkan ketidakmampuan saya'. Aku melihat ke wajah temanku yang sekarang tertutup matanya. Dia tampak damai, meskipun setiap balutan penutup luka di seluruh tubuhnya akan berkata lain.

"Saya permisi dulu."

Hanya anggukan yang keluar sebagai sebuah jawaban. Mulutku terlalu kaku untuk berkata-kata.

Beberapa hari selanjutnya, aku harus mendengar kabar duka lainnya. Temanku yang lain memilih mengakhiri kehidupannya setelah sebuah perjuangan yang lama. Dia menyerah pada harapan, dan mengakhiri perjuangannya. Rasanya seperti luka yang semakin ditumpuk mendengarnya.

"Maaf, aku tahu kamu sedang berduka, tetapi aku tetap harus menyampaikan pesan ini."

Kalimat itu tertera jelas di layarku. Aku hanya menghela nafas berat, seakan ingin menggumamkan kata-kata tidak percaya.

"Kenapa menjadi seperti ini."

Tidak perlu pekan berganti, pesan dari pihak perusahaan berikutnya menjadi duka untukku. Sebuah pesan elektronik masuk kala akhir pekan di sore hari. Pesan itu menyatakan bahwa aku gagal evaluasi dan akan diputus kontrak. Kata-kata netral namun menusuk itu seakan menembus relung, mematahkan harapan yang masih tersisa di dalam dada. Ingin aku teriak kala itu, berputus asa. Namun, sebuah janji dengan seseorang membuatku enggan untuk mengakhiri segera. Masih ada yang perlu aku kerjakan.

"Masih ada jalan lain," gumamku pelan. Aku melafalkan kalimat itu berulang kali, seakan sebuah mantra bahwasanya semua ini akan berakhir.

Namun, mantra itu tidak bertahan lama. Sebuah surat undangan mengejutkanku. Nama di surat itu... tidak lain adalah nama orang yang aku impikan selama ini. Sisa daripada alasan untukku bertahan, telah sirna. Surat itu aku terima dengan tangan yang lemah. Kakiku terasa beku. Kehidupanku seakan ditarik menuju ruang hampa.

"Sungguh..."

Rasanya menyakitkan. Kehilangan semuanya dalam hitungan hari. Luka ini dengan cepat menyayat, seakan mematahkan segala harapan. Setelah aku kembali ke kamar, rasanya ingin merenggut jiwa dalam diriku. Namun, sebuah pesan masuk ke ponselku.

"Aku tidak tahu bagaimana kabarmu dengan undangan dia menyebar, tetapi aku hanya ingin memberitahu kembali sebagai seorang kawan. Ada dua hal dalam kehidupan yang akan dilalui. Masih ingat?"

Sebuah pertanyaan. Aku membaca itu dan berpikir sejenak.

"Aku lupa."

"Padahal kamu sendiri yang menjawab."

Entah kenapa, melihat jawaban itu membuatku teringat sesuatu.

"Aku sungguh lupa."

"Kamu berbohong atau sungguh lupa?"

Kenapa nadanya menyangsikanku? Aku tahu orang ini adalah teman waktu sekolah dulu, tetapi kami tidak akrab.

"Sungguh."

"Cahaya Bayangan."

Aku membaca dua kata itu dengan seksama.

"Kami akan menemui keduanya, guru?"

"Benar. Kalian akan bertemu dengan keduanya. Kehidupan punya jalan untuk menjaga keduanya dalam sebuah keseimbangan."

"Maksud guru?"

"Ada satu masa dimana kehidupan kalian akan sangat membahagiakan. Kalian bisa katakan bahwasanya masa ini yang kalian sebut dengan 'Cahaya'."

Kami mencoba meresap informasi itu. Satu masa yang sangat membahagiakan adalah Cahaya.

"Ada lagi satu masa dimana kehidupan kalian akan sangat suram. Kalian bisa katakana bahwasanya masa ini yang disebut dengan 'Bayangan'."

Dengan kata lain, berlawanan.

"Tetapi, kenapa bayangan, bukan gelap, guru?" seorang anak di sudut ruangan mengajukan pertanyaan yang mengejutkan kami. Guru kami terkekeh, sebelum memberikan jawaban yang menurutku bijak.

"Saat masa sulit sedang menghambat hidup kalian, dia bukanlah kegelapan yang merampas cahaya kalian. Namun, masa sulit adalah masa dimana kalian terlalu jauh dari sumber cahaya, sehingga kalian berada dalam bayangan yang gelap."

Aku menggelengkan kepalaku, mengembalikan diriku ke dunia nyata. Masa sulit adalah masa dimana aku terlalu jauh dari sumber cahaya ya...

"Sayangnya dulu aku tidak pernah bertanya apa-," gumam pelan itu terpotong oleh sebuah ingatan akan jawaban yang aku cari.

"Sumber cahaya adalah kepercayaan untuk menatap ke depan dan berjalan maju. Saat kamu menatap ke belakang dengan semua luka yang kamu rasakan, maka bayangan akan terus bersamamu."

Aku tersenyum, akhirnya mengerti.
"Aku ingat."

"Senang mendengarnya."

"Terima kasih."

"Hanya membantu sebagai teman."

Besoknya, seorang teman memberikanku informasi lowongan kerja yang segera aku daftarkan dan berhasil diterima. Sepekan selanjutnya, temanku yang lama di luar negeri kembali ke Indonesia. Dalam sebulan, kehidupanku kembali dan jauh lebih baik dengan pekerjaan baruku. Kehidupan sosialku juga semakin baik.

Setiap malam semenjak itu, aku selalu melihat pesan itu. Sebuah pesan yang selalu mengingatkanku bahwasanya kehidupan itu ada masanya. Ada cahaya, dan ada bayangan.

---


Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now