ARARINDA [Amey]

2 1 0
                                    

Kepalaku dibenturkan untuk yang kesekian kalinya di atas meja, aku tak tahu jumlah pastinya karena aku tak bisa menghitungnya dengan benar, kepalaku benar-benar sakit sekarang.

Apakah mereka belum puas? Padahal dua hari yang lalu mereka sudah menceburkanku ke kolam ikan di taman sekolah lalu melempariku dengan telur dan batu. Kemarin juga mereka sudah memaksaku untuk meneguk perasan air pel.

Apakah mereka belum puas hingga harus menyiksaku juga hari ini?

Tawa senang bisa tertangkap di indera pendengaranku. Mataku dapat melihat gadis-gadis itu tergelak hebat setelah berhasil membuat kepalaku bocor.

Darah yang mengalir turun ke leherku terasa begitu mengganggu. Aku ingin mengelapnya segera, namun kedua tanganku terikat kuat di belakang tubuhku.

Pandanganku mulai berkunang-kunang, sepertinya sebentar lagi aku akan pingsan, kedua mataku perlahan tertutup. Aku dapat merasakan kesadaranku semakin menipis sebelum akhirnya siraman seember air membuat kesadaranku kembali sepenuhnya.

Mataku kembali terbuka, bau busuk tercium menyengat di hidungku. Aku menghela napas pelan, hari ini mereka menyiramiku lagi dengan perasan air pel.

Seseorang dari mereka menunduk menyetarakan tingginya denganku yang sedang duduk di atas kursi, kedua tangannya terulur menangkup wajahku.

"Jangan bosan-bosan datang ke sekolah yah."

Aku hanya bisa menatap datar gadis di hadapanku itu. Aku ingat, kemarin ia juga mengatakan hal itu, bahkan beberapa hari sebelumnya ia juga mengatakan hal yang sama.

Ia berucap dengan begitu manis, membuatku percaya bahwa 'Wolf in sheep's clothing' itu benar-benar ada di dunia ini.

Setelah puas menjadi tukang potong rambut dadakan mereka semua akhirnya meninggalkanku sendirian di dalam kelas. Aku kembali menghela napas kesal karena mereka tidak melepas ikatan di tanganku.

Kalau aku tak memberi effort lebih untuk melepaskan diri, sepertinya aku akan berada semalaman di ruang kelas ini. Aku mendesah lega ketika tanganku terlepas dari ikatan ini.

Aku perlahan menyeret kakiku keluar dari dalam kelas. ohh iya, kaki kananku sudah tidak dapat berjalan dengan normal, ligamen kaki kananku robek setelah jatuh dari tangga satu minggu yang lalu karena di dorong oleh gadis-gadis itu.

Aku berjalan keluar kelas, meninggalkan tasku di atas meja, aku merasa bahwa benda itu tak akan berguna lagi untukku.

Aku hanya membawa ponsel, earphone, dan kunci motor yang sedari awal memang sudah berada di dalam kantong kemejaku.

Sepertinya aku akan langsung pulang saja ke kontrakanku. Seluruh tubuhku sakit dan butuh istirahat banyak. Aku mengendarai motor membelah jalanan basah bekas hujan tadi siang.

Alih-alih menuju ke kontrakan, aku malah mengendarai motorku tak tentu arah. Setelah beberapa menit mengendarai motor, aku tiba-tiba merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatiku, entah apa tapi semua tiba-tiba terasa begitu menyesakkan.

Aku menghentikan laju motorku lalu memarkirkannya di depan sebuah toko kue yang terletak di pinggir jalan.

Motor itu ku tinggal lalu berjalan pelan di atas trotoar, beberapa menit berjalan hingga akhirnya aku sampai di atas sebuah jembatan besar.

Suasana hening, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat melintas di jembatan tempatku berdiri sekarang. Aku dapat melihat air yang mengalir dengan tenang di bawah sana.

Perlahan namun pasti aku melangkahkan kaki naik ke sisi jembatan, semilir angin terasa menggelitik leherku. Sepasang earphone tersemat di kedua telingaku, memutar melodi indah yang semakin mendukung suasana sore ini.

Menatap kosong ke depan benar-benar menjadi kebiasaan yang tak bisa terlepas dariku, angin berhembus menerbangkan untaian rambutku yang sekarang sudah seperti rambut laki-laki.

Matahari di ufuk barat begitu indah namun tak mampu membuatku menjadikannya titik fokus. Pikiranku berlari ke sana-kemari, menelisik kembali kenangan dan perasaan yang ku rasakan saat ini.

Entah aku yang terlalu cengeng atau memang hawa tempat ini bisa membuatku merasa sedih. Air mataku dengan nakalnya jatuh tanpa permisi. Alih-alih menahannya seperti biasa, kali ini aku ingin lebih jujur, membiarkan air mata mengalir sebagaimana seharusnya.

Tanganku terulur melepaskan earphone yang sedari tadi menggantung di telingaku, suara angin yang begitu lembut langsung menyapa indera pendengaranku.

Aku menghela napas panjang, lalu perlahan menutup kelopak mata, membuat semua yang berwarna langsung menjadi hitam dalam sekejap.

Ohh iya, namaku Ararinda. Cantik bukan? Nama itu diberikan oleh ayahku, waktu masih hidup ia selalu membanggakan nama itu pada seluruh keluarganya.

Ararinda yang berarti 'gadis pantang menyerah'.

Mengingat hal itu membuat bibirku tertarik kesamping.

Melayang di udara sepertinya akan menyenangkan.

'Sekarang aku menyerah.'

Seulas senyum terpatri di bibirku sebelum akhirnya tubuhku tenggelam sepenuhnya dalam kegelapan.

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now