Senja Luka [Kuran Ly]

4 1 0
                                    

Aku melihat dirimu menatap sendu ke batu nisan di hadapan kita. Senyum di wajahmu telah sirna, digantikan oleh air yang bercucuran deras. Kamu terus merapalkan kata-kata penyesalan. Maaf, berganti sesal, berganti rasa bersalah.

Melihatmu demikian membuatku getir, namun hanya diam yang ku berikan. Tempat di sekitar telah berubah menjadi abu dan debu, hancur lebur. Hanya pemakaman yang seadanya ini yang masih berdiri, itupun jikalau pantas disebut dengan kata 'berdiri'. Nisan-nisan di sini hampir semuanya rusak, atau hancur.

"Sudah cukup."

Kamu terus menangis, meratapi orang-orang yang kamu cintai menjadi tanah. Kehancuran ini telah merampas semua milikmu. Sementara aku? Aku sudah terbiasa untuk tidak menangis kala ada orang.

"Maaf," ucapmu kepadaku. Aku menyunggingkan sebuah senyuman. Perlahan, kamu mencoba berdiri, dengan semua beban yang tidak terlihat di pundakmu.

"Kita pergi sekarang. Perang ini belum berakhir."

Anggukan darimu adalah satu-satunya respon yang aku terima. Aku pun memimpin jalan, membantumu kembali ke salah satu markas darurat yang dibuat oleh militer. Tentara NKRI tampak berjaga di sana, waspada untuk serangan lanjutan dari pihak aliansi lawan.

"Mohon maaf, apakah anda punya identifikasi diri?"

"Tentu saja."

Aku serahkan dua buah kartu tanda pengenal kita. Semenjak Perang Dunia 3, disingkat PD 3, berkibar, semua negara mengerahkan tenaga militer mereka. Pengamanan naik hingga ratusan persen, bahkan satu kata menentang pemerintah akan membawamu ke neraka karena dituduh pemberontakan kala perang.

"Silahkan masuk."

Aku membawamu dengan perlahan. Kakimu masih terlihat bergetar. Kita pun mengambil satu sudut di pengungsian, dengan barang-barang yang kita tinggal sebelumnya berada. Sebagian besar barang-barang itu sudah kehabisan listriknya, atau sudah tidak berfungsi.

Bagaimana bisa tidak berfungsi? Kalau karena kehabisan baterai, itu bisa ditambal dengan mengisi listrik ulang. Namun, masalahnya lebih kompleks daripada itu. Pernahkah kalian membayangkan, jika salah satu pihak aliansi lawan memiliki teknologi yang mematikan listrik.

"Awas! Pesawat mereka datang lagi! Matikan semua alat listrik kalian!"

Pesawat musuh membombardir kota ini siang dan malam. Bukan hanya bom biasa, tapi juga bom pulsa listrik yang mematikan semua jenis listrik di perkotaan ini. Orang-orang menyebutnya dengan singkatan EMP, Electromagnetic Pulse. Pulsa Elektromagnetik. Bom ini mematikan listrik dalam radius.

Jika tidak pesawat yang orang-orang sebut dengan nama Lionheart membombardir kita dengan EMP, maka satelit mereka yang akan menembak kota ini, dan kota-kota lainnya pula. Negara ini sudah dua minggu kehilangan listriknya. Kita seperti mundur bertahun-tahun akibat teknologi itu.

Makanan kita tidak lebih daripada camilan hasil jarahan di toko, atau makanan dengan kualitas dipertanyakan. Meskipun banyak bantuan militer dari negara aliansi kita, fakta bahwa aliansi musuh mencoba meracuni kita membuat makan seperti pilihan hidup dan mati. Tidak ada yang bisa menjamin satu botol air yang kita tenggak masih bersih dari radiasi nuklir yang menghantam kota sebelah, dengan racun nya menyebar ke seluruh air di pulau ini.

"Permisi, ini stok air untuk hari ini."

Petugas kesehatan menyerahkan dua botol air, yang jumlah per botolnya tidak lebih daripada satu setengah liter. Dua botol ini harus cukup untuk makan, mandi, dan semua urusan lainnya. Dengan kata lain, air bersih adalah sebuah komoditas langka.

"Terima kasih."

Aku menerima botol milikku, dan juga milikmu. Kamu tidak melukiskan sedikit senyuman pun. Aku hanya menghembuskan nafas berat, mencoba menerima semua ini.

Oneshot WattpadesurdWhere stories live. Discover now