#6. Talk

279 42 10
                                    

"If it becomes so hard, why don't you try to talk?"

≈ H . O . M . E ≈

.
.
.

"NOPE!!"

Yang barusan berbunyi nyaring hingga ke sudut ruangan lantai bawah tersebut adalah suara Irene ketika matanya menangkap Wheein hendak mengambil salah satu buah di basket counter.

Sebenernya bukan tentang akan seberapa banyak Wheein mencomot buah di rumah ini melainkan fakta bahwa perempuan itu baru saja pulang dari kegiatannya diluar yang mana pasti terpapar debu dan berbagai kuman. Disamping itu, Irene merupakan salah satu sosok nan cukup paranoid semenjak kasus covid semakin bertambah di kota tempat mereka tinggal. Jadilah seluruh penghuni harus menyesuaikan cara Irene yang begitu ketat jika soal kebersihan.

"Cuci tangan dulu gih... Jorok banget baru masuk udah comot comot aja."

"Ishh.. iya iyaaa.."

Meskipun direspon dengan cebikan bibir ala remaja labil, Irene tetap akhirnya menghembuskan nafas lega kemudian melangkah menuju tangga usai memastikan Wheein sungguh menuruti perintahnya.

Di menit selanjutnya Irene kembali disuguhi pemandangan yang mengingatkannya akan bagaimana sifat Tiffany sesungguhnya. Sekelebat eksistensi berambut hitam panjang yang melewati lorong hingga berhenti di depan pintu kamar Joy agaknya sedikit membuat Irene iri.

Mungkin karena Irene akhirnya menemukan seseorang yang dapat melihat seluk beluk dirinya secara detail, jadi ada sensasi tak rela kala menyaksikan orang yang sama mulai menaruh perhatian pada persona lain.

Namun kembali lagi, Irene melihat dirinya sendiri berada di titik tengah. Dia tidak masuk dalam golongan dewasa namun juga tidak cocok untuk dikategorikan sebagai yang muda.  Jadi Irene mulai menetapkan bahwa Ia harus menjadi seseorang yang memimpin para remaja namun tidak sampai melangkahi garis dewasa.

Mengulang-ulang kalimat 'Ya. Yang muda emang perlu perhatian lebih dari aku sendiri", Irene lantas membiarkan dirinya menunggu hingga Tiffany masuk ke kamar Joy, barulah Ia lanjut mengambil langkah menuju salah satu ruangan di ujung milik Moonbyul.

Ada rasa sedikit tak pantas sekaligus bersalah sebab setengah hatinya menjadikan aksi peduli ini hanya sebagai pengalihan dari pikirannya nan terfokus pada subjek lain.

Gelengan kepala Irene yang terkesan seperti berupaya menghilangkan sesuatu yang mengganggu kepala sudah cukup menunjukkan seberapa besar gejolak di dada mengusik dirinya sendiri.

Namun Ia tetap berakhir meraih gagang pintu kuningan sebelum mendorongnya pelan hanya untuk disuguhi pemandangan Moonbyul yang duduk di kursi belajarnya, membelakangi pintu, seraya memakukan mata pada layar kecil di genggaman.

Sama sekali tak menyadari keberadaan Irene.

Maka Irene memilih untuk menyandarkan tubuh di bingkai pintu dengan dua tangan menyilang di depan dada; mencoba meresapi aura apa yang tengah mengelilingi Moonbyul saat ini. Hingga beberapa menit kemudian Irene merasa bahwa Moonbyul memang sudah tenggelam dalam apapun yang tengah dipikirkan, jadilah Ia mengambil keputusan untuk menarik Moonbyul kembali ke kesadaran.

"Hey, Byul."

"Eh? Kak Irene? Sejak kapan kak Rene disitu?"

Alih-alih membalas pertanyaan Moobyul yang bernada sedikit panik, Irene justru menunggu sambil memperhatikan setiap gerak-gerik Moonbyul yang seolah tengah mencari posisi nyaman; jelas sekali merasa bahwa bentengnya tengah diterobos; Irene pernah berada di posisi itu.

Kekehan ringan mengalun dari bibir Irene seiring Moobyul mulai menaruh fokusnya pada Irene daripada sibuk merapikan meja yang cukup berantakan akibat kertas-kertas esai.

Moonbyul tampak sangat kentara bahwa Ia tak ingin menatap Irene sama sekali sehingga lebih memilih untuk memutar ponsel di tangan. Irene sendiri pun hanya tersenyum maklum sebelum berdiri tegak lantas memasukkan dua telapak ke saku celana trainingnya.

"Kamu nggakpapa, Byul? Aku liat kamu diem terus akhir-akhir ini."

Tak lama usai Irene menyampaikan kecemasannya, Irene dapat melihat selintas indikasi bila Moonbyul sebenarnya ingin bercerita, hanya saja ada sesuatu yang seolah menahannya.

Harga diri, mungkin?

Atau juga pikiran bahwa ceritanya hanya akan menambah beban bagi pendengarnya. Bisa pula.

Perlahan mengerti bahwa menunggu disana sambil menatap Moonbyul seakan mengintrogasi akan membuat pihak yang bermasalah tak nyaman dan dipojokkan, Irene kemudian memutar tubuhnya.

"Ayo turun. Aku sama kak Tiff beli makanan. Aku tunggu dibawah ya."

• × •

Sementara itu, di satu ruangan lain, tampak Tiffany tengah berdiri dengan cara yang sama seperti Irene tadi. Tangan tersimpan di saku celana training, menatap ke arah seorang gadis yang tak ingin menganggap keberadaannya.

Ini tidak seperti Joy juga memiliki masalah dengan Tiffany, Ia hanya lebih senang mengurung diri sampai suasana hatinya kembali normal, memikirkan bila kejadian kemarin bisa saja Ia lakukan pada Tiffany juga jika membiarkan orang lain ikut campur.

Tapi Tiffany disana.

Ia hanya disana. Menunggu dan menyaksikan. Sampai di titik ketidaknyamanan Joy meningkat beratus-ratus level hingga mendorong lehernya untuk menyentak ke samping; memandang Tiffany dengan tatapan bosan, kesal, serta secara tak langsung tengah mengusirnya.

"Apa sih, Ka—"

"Kamu udah nyoba yang terbaik. Kamu harus lebih belajar menghargai diri kamu sendiri, Joy."

Dan disini, di kamar cukup sederhana bernuansa hitam dan putih, untuk kedua kalinya Tiffany membuat satu relung merasa didobrak sepenuhnya.

Terbukti dari bagaimana cara Tiffany terus menyorotkan matanya ke netra gelap berkilau Joy yang tampak terkejut seolah Tiffany membacanya dengan sangat, sangat akurat.

Prinsip yang Ia tetapkan, benteng yang Ia bangun bertahun-tahun seketika lenyap oleh deretan kata yang diucapkan dengan nada serius namun tetap terkesan peduli itu. Mata Tiffany bahkan masih tampak tegas seolah tengah memerintah, bukan menyarankan. Tapi Joy tetap terdiam atas sensasi tak biasa yang membuatnya merasa aman; aman untuk menjadi terbuka pada sosok di hadapan.

Joy sungguh tak ada persiapan untuk ini. Ditambah lagi kenyataan bahwa Ia tidak begitu dekat dengan Tiffany dan Tiffany pun tak ada disana ketika perseteruan itu terjadi, menjadikan Joy sedikit lepas dari penjagaan; tak mengira bahwa Tiffany malah merupakan salah satu yang berhasil menembusnya bukannya Irene atau Wendy.

"Kak Tiff, kamu—"

"Udah, ayo turun. Aku sama Irene beli makanan."

Dengan itu Tiffany berjalan secara kasual meninggalkan kamar Joy seolah peristiwa barusan sama sekali tak ada; meninggalkan Joy yang masih tenggelam dalam keterkejutan.

How could she... understand?

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

Mbak Yuri sama mbak Jessica nanti dulu ya. Ini pihak yang ini ini dulu xixixixi

Regards
- E

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang