"Every scar is a weapon."
≈ H . O . M . E ≈
.
.
.Irene pikir Ia sudah cukup tenang untuk sekedar bergabung bersama ketujuh perempuan lain untuk membantu Wendy merapikan kamarnya. Namun tanpa diduga, ada substansi lain yang ikut menyerang relungnya di hari selanjutnya.
Nyatanya alih-alih pulang bersama kedamaian hati setelah melampiaskan emosi lewat pekerjaannya, Irene justru mengambil giliran; membuka pintu utama secara kasar sampai mendapatkan tatapan bertanya sekaligus terkejut dari delapan gadis nan menikmati hari mereka di ruang tengah.
Sesaat Irene berhenti. Matanya sempat berkontak dengan Tiffany yang entah kenapa malah membuatnya semakin membara; seolah Ia baru saja menambah list kesalahan yang telah Ia perbuat di hari ini.
Ada kontemplasi mendalam akan keputusan antara memberitahu mereka apa yang mengusik relungnya atau meminta maaf karena menginterupsi apapun kegiatan mereka.
Namun barangkali Irene sendiri telah begitu lelah dan dikuasai panas membakar di hati, jadilah Ia melesat begitu saja tanpa berkomentar lebih jauh; meninggalkan beberapa pasang mata memindai dirinya dari atas kepala sampai ke ujung kakinya ketika Ia melangkah cepat menuju kamarnya.
Irene bahkan menutup pintu kamarnya dengan cukup lembut dibanding percobaan sebelumnya; masih sempat mencemaskan bila orang lain merasa terganggu atas kegaduhannya padahal Ia memang sedang butuh untuk menjadi kacau.
Duduk dikursi kayu sederhananya, Irene melihat lurus kedepan dengan tatapan kosong; tak henti mengisi kepalanya dengan pemikiran negatif tentang beberapa jam lalu dimana Ia mendapatkan nilai rendah dalam inspeksi bulanan di pangkalan pemadamnya.
Memang tidak paling rendah, hanya saja Irene merasa seperti dikalahkan. Ia bukan orang ambisius nan banyak orang ekspektasikan, tapi Ia diam-diam selalu menjadi kompetitif.
Bukan hanya kompetitif dengan figur yang lebih baik darinya, namun juga bersaing dengan dirinya sendiri.
Mungkin itu pula yang membuatnya tetap diam tadi, meski matanya serasa terbakar kala menyaksikan Minhyuk bersorak gembira sebab menjadi salah satu damkar nan menempati posisi pertama dalam inspeksi kali ini.
Lantas Irene yang sudah menduga akan kemana alurnya berjalan, hanya menghembus panjang sembari menutup mata kala sebuah suara memanggil namanya disusul bunyi pintu dibuka.
"Hey Rene, kamu nggak papa?"
Pertimbangannya kini bertambah. Ingatannya jatuh pada banyaknya waktu dimana Tiffany selalu menusuknya tepat di relung; mengejutkan Irene akan fakta-fakta baru setiap harinya mengenai seberapa ahli Tiffany dalam membaca suasana hati orang lain.
Kemudian ketika sisi kecil hati yang merasa kesepian mulai mengambil alih, Irene lantas menunduk sebelum menyuarakan badai dalam otaknya.
"Nilai inspeksiku nggak sesuai sama harapanku, Kak. Like... literally the worst. I feel like I wanna throw up at myself. Tambah tambah aja deh ini self-hatredku.", urai Irene dengan nada terkontrol; tak ada teriakan, tak ada bentakan, tak ada indikasi lonjakan emosi yang ekstrim.
Sungguh tampak seperti Ia mengeluh biasa seperti ketika Rosé tidak mencuci piringnya setelah makan atau seperti ketika Wheein pulang dari bepergian, lalu menyentuh segala hal tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.
Tapi Tiffany adalah Tiffany. Tidak mungkin jika Ia akan pergi begitu saja usai mendeteksi sensasi amarah yang terpendam di dalam diri orang lain.
"Sini. Lampiasin semuanya."
Dan Irene menjadi lebih kalut karena Ia tahu bahwa kejadian-kejadian sebelumnya yang pernah Ia alami akan kembali terulang; dimana Ia menetapkan satu orang sebagai sosok yang paling tahu dirinya tanpa Ia perlu berbicara dan semakin banyak bergantung pada orang tersebut, lantas dikecewakan dengan bagaimana perubahan membuat aksi dalam diri orang itu.
Irene tipikal perempuan yang lebih senang ditampar; diberikan solusi yang mungkin akan menusuk hatinya karena memang itulah kenyataannya.
Irene kira Tiffany sudah sangat amat paham.
Namun kini yang dilakukan Tiffany adalah sesuatu yang total kebalikan dari apa yang Ia sempat harapkan di detik Ia mengetahui keberadaan Tiffany di dekatnya.
Ia tidak ingin pelampiasan.
Ia butuh tamparan.
Reflek seketika mengambil alih seluruh kontrol hatinya, sehingga Ia tanpa sadar menyorotkan tatapan kecewa yang lagi-lagi tak dimengerti oleh pihak yang lebih tua.
Ia benci pola yang sama.
Menemukan, bergantung, berharap, lalu berakhir kecewa.
"Nope, Kak. Aku mau sendiri aja."
"Jangan ditah—"
"Not today, Kak Tiff. Just..."
Kemudian satu serangan Irene tembakkan pada diri sendiri di dalam otaknya dalam bentuk umpatan atas kebodohannya karena menaruh ekspektasi tinggi terhadap orang lain.
Ia seharusnya tahu lebih baik daripada meminta.
"Just leave me alone."
.
.
.≈ H . O . M . E ≈
Maaf, request buat selanjutnya ya :")
Regards
- E

KAMU SEDANG MEMBACA
Home ✔
FanfictionKisah hidup sederhana maupun rumit dari 9 perempuan yang akhirnya memilih untuk tinggal di satu atap yang sama meski awalnya hanya mengenal lewat dunia virtual. Di masa pandemi yang masih terasa menegangkan, tanpa sadar mereka telah membangun keluar...