#44. Contrast

84 10 0
                                        

"It's not your decision to make. It's just not."

⟩⟩ H . O . M . E ⟨⟨

.
.
.

Tut...

Wheein tak bosan mengetukkan jarinya ke meja kayu depannya.

Ia juga sesungguhnya sedikit heran tentang mengapa Rosé berpikir bahwa Ia tertarik dengan ocehannya, padahal jelas-jelas Wheein tak mengarahkan mata ke perempuan rambut pirang itu sama sekali.

'Hi, you've reached to Bae Irene. Leave the message after the 'bip' and I'll reply it later.'

Lagi-lagi kerutan dalam muncul di dahi Wheein berbarengan dengan ponsel yang diturunkan dari sisi telinga kanan.

"Jadi si Kim ini tu—"

"Rosé, kamu jadi nyoba nelfon kak Rene nggak, kemaren?" Potong Wheein tanpa permisi. Sungguh, Wheein hanya terlalu kasihan mengamati Rosé yang terus bercerita tanpa sadar bahwa dirinya tak didengarkan barang sedikit saja.

Meski tak terlalu kentara, sesungguhnya secuil kecemasan tercipta di relung keduanya.

Wheein jelas tidak lupa bahwa Tiffany sudah pernah memberi informasi tentang Irene ketika wanita mungil itu meninggalkan rumah berbulan-bulan lalu hingga sempat menimbulkan kerusuhan kecil antara kedelapan penghuni lain.

Irene rumit. Barangkali hampir semua penghuni rumah itu sudah tahu, mengingat semua persona telah menyaksikan sendiri betapa ekstrim naik-turunnya suasana hati Irene.

Meski begitu, tetap saja asumsi-asumsi mulai berdatangan di kepala Wheein ketika panggilan ke dua puluhnya dalam minggu ini, untuk kesekian kali, berakhir ke voicemail yang memamerkan suara Irene.

Belum lagi Tiffany, yang biasanya memang selalu dapat diandalkan jika sudah berhubungan dengan anggota-anggota dalam lingkup pertemanan mereka, malah juga ikut tak dapat dihubungi; menambah prasangka negatif mengenai keberadaan Irene saat ini.

Angkatan kepala Rosé sedikit mengindikasikan bahwa Ia mulai paham mengapa Ia kerap mendapati Wheein terdiam merenung menatap ponselnya ataupun terlihat resah beberapa hari terakhir.

Agaknya sudah sedikit lupa kapan terakhir dirinya memeriksa kondisi sosok tunggal yang kini tinggal sendirian itu, Rosé menggeleng pelan; sedikit menunjukkan sesal sebab tak berhasil memberikan jawaban yang Wheein inginkan.

"Voicemail." Tutur Rosé pelan, mengundang hembusan nafas panjang lolos dari pihak lawan.

Lantas bertepatan dengan gerakan Wheein menyelipkan beberapa lembar uang dibawah cawan kopinya sebelum berdiri, gumaman dibawah bisikannya jelas mengekspos kekesalannya.

"Sialan."

🍂

Suasana di sebuah rumah sederhana yang terletak di satu komplek luas tentu terlihat berbanding terbalik.

Seorang perempuan jangkung yang kini menahan tawanya dapat disaksikan tengah menahan pintu sementara pasangannya memasuki rumah bersama dua plastik besar berisi barang belanjaan di kedua tangan berototnya.

Terlepas dari seberapa berkerut wajah yang lebih tua akibat kekesalan kecilnya, Joy malah terkikik geli; tak kuat menyaksikan pemandangan dimana Tiffany mengerucutkan bibir sebab kalah di taruhan mereka ketika berada di supermarket.

"Emang kancil banget ni manusia." Geramnya meski tetap saja menyisakan senyuman samar untuk diluangkan kala memfokuskan mata pada tawa Joy yang pada akhirnya pecah juga.

Sejenak Joy sekedar terdiam usai menutup pintu, mengarahkan netra gelapnya ke pemandangan bagian belakang Tiffany yang kini melangkah tergopoh-gopoh menuju dapur dikarenakan beban berat di bagian kanan dan kiri tubuhnya.

Kikikan geli yang sedari tadi menyelingi perjalanan mereka, sejenak diubah menjadi lengkung bibir tulus tanpa sepengetahuan yang lebih tua; diam-diam menikmati keadaan dimana Tiffany merengek layaknya anak-anak.

"Tadi tu aku yakin banget kamu ngeluarin gunting pas aku ngeluarin batu. Terus kamu ganti 'kan, jadi kertas?" Tiffany masih tak lelah juga rupanya mengulang-ulang penjabaran yang sama.

Ia sudah mendebat Joy sejak awal melihat kecurangan perempuan jangkung itu.

Namun argumen Joy yang begitu kuat mengatakan bahwa Ia telah mengeluarkan kertas sejak awal, malah menjadikan Tiffany tidak yakin apakah yang Ia lihat itu benar, atau sekedar karena Ia tak ingin kalah.

Yang tidak pernah terduga ialah Joy yang dengan begitu rileks melewati Tiffany untuk mulai menata barang belanjaan di rak, sambil menggumamkan balasan "Emang," menggunakan nada rendah.

"Wait, what?!"

"Ya maksudku, bukannya yang tua tu emang harusnya ngalah kan?" Tanpa merasa berdosa, Joy menceletuk. Sama sekali tak peduli dengan tolehan dilengkapi ekspresi tak terima dari Tiffany dan justru melanjutkan kegiatannya memindahkan bahan-bahan ke laci atas kepalanya.

Untuk beberapa saat, hanya ada hembusan nafas keras dari pihak Tiffany yang disusul keheningan panjang. Sedikit mengusik Joy sebab tak mendapatkan tanggapan, tapi juga tak terlalu ambil pusing mengingat Tiffany memang yang paling sering pasrah jika 'dikorbankan'.

Tapi ketika Joy mengantisipasi obrolan baru yang mana tak pernah muncul, barulah Ia meluangkan diri untuk memutar leher. Agaknya was-was sebab tak melihat keberadaan Tiffany lagi di belakangnya.

Geez, Ia bahkan tak mendengar suara kaki Tiffany yang melangkah meninggalkan area dapur.

Well, mungkin baru meresap ke pemikiran Joy beberapa menit setelahnya bahwa kesabaran Tiffany mulai habis akibat kejahilan yang tak ada habisnya.

"Kak?" Maka dari itu sebuah panggilan Ia teriakan sebagai upaya mengetes apakah Tiffany hanya mengambil sesuatu dari tempat lain atau memang sungguh meninggalkannya menata barang sendirian.

"Kak Tiff!" Lantas seruan Joy selanjutnya berangsur mengeras dan terkesan semakin menuntut. Seolah-olah Ia tidak terima bila Tiffany marah hanya karena candaannya.

Sedikit konyol memang, melihat Joy justru berbalik emosi sebab teriakannya tak segera dibalas. Padahal justru dia sendiri penyebabnya.

"Ish, kak! Aku kan cuma becanda!"

Kerucutan bibir Joy bertambah kentara seiring kakinya menuntunnya semakin menjauh dari sekitar dapur; berusaha mencari-cari keberadaan Tiffany.

Insting Joy mengatakan bahwa Tiffany tentu saja akan berada di kamarnya seperti ketika mereka saling bercekcok lalu tak berbicara selama beberapa jam. Tiffany selalu bersembunyi di ruang privatnya. Hampir sama seperti Joy sendiri.

Sehingga tak perlu berpikir, Joy secara percaya diri mengarahkan tubuhnya ke lorong menuju kamar Tiffany.

"Ba!!"

"ASTAGA!!"

Nyatanya tak ada yang tahu bila Tiffany memiliki kenakalannya sendiri.

"Bhahahahaha......"

Gelak tawanya pecah di detik netra gelapnya menangkap pejaman mata Joy bertepatan dengan dua tangan diangkat ke sisi kepala seolah-olah dia akan ditembak menggunakan pistol.

Dengan itu, sore mereka diisi oleh teriakan dan sorakan jahil usai mereka mengambil bantal di kamar masing-masing lantas menggunakannya sebagai senjata perang yang hampir menghancurkan seluruh perabotan rumah.

Yeah. Sama sekali tak peduli dengan rak yang jatuh, menyebarkan tiap-tiap pasang sepatu diatasnya. Bahkan tak acuh pada bahan-bahan berserakan di lantai dapur yang seharusnya dimasukkan ke kulkas.

Sungguh sore yang melelahkan.

.

.

.

⟩⟩ H . O . M . E ⟨⟨

Regards
- C

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang