#24. Never Come Back

136 19 11
                                    

"You stayed. Then when you realize that the reason which makes you stay has changed, you will fastly choose to be gone." - C

≈ H . O . M . E ≈

.
.
.

Selagi berdiri di sisi jendela kamarnya, Irene masih tak henti bertanya-tanya bagaimana bisa hujan turun ditengah-tengah musim panas. Meski begitu, lubuk hatinya yang paling dalam sempat berasumsi bahwa mungkin alam mendukung suasana hatinya kini.

Pulang ke rumah tempat Ia dilahirkan hanyalah sebuah kedok yang Ia gunakan demi melarikan diri dari emosi rumit nan berputar di kepalanya.

Ia tenang bersama mereka. Selalu. Bahkan rasa candu akan kehadiran mereka di hidupnya telah menjadi sesuatu yang selalu Ia nikmati.

Namun dilain sudut pandang, Ia pun selalu digerogoti oleh kegilaan yang timbul akibat kecintaannya pada mereka. Selalu ingin diperhatikan merupakan salah satu efek yang paling kentara nan merasuk ke setiap sendi tubuhnya.

Dan kenyataan yang seolah menamparkan bila Ia bukan siapa-siapa namun hanya seorang gadis yang tinggal di satu atap dengan delapan perempuan itu pun menyentak kesadarannya.

Ia memang bukan siapa-siapa.

Ia tak pantas menjadi prioritas siapapun.

Secara menyedihkan menuntut perhatian dari mereka sampai Irene menganggap dirinya sendiri sebagai attention seeker, terlalu kerap lepas dari kontrol hingga mengucapkan sesuatu tanpa berpikir, impulsif, selalu mengambil keputusan dengan gegabah, dan segala kecacatan yang telah Ia tunjukkan dalam rumah besar itu.

Jika diulang kembali, cukup banyak perasaan yang secara tak sengaja atau bahkan secara sengaja Ia sakiti lewat tiap-tiap kalimat serta tindakannya. Belum ditambah sifat kekanakannya yang terus saja menempatkan dirinya sendiri sebagi fokus. Kemudian di akhir hari Irene akan menyadari bahwa Ia tidak berhati-hati lantas mulai menyalahkan dirinya sendiri.

Polanya tak pernah berubah.

Irene senang ada di tengah-tengah mereka.

Namun di waktu yang sama, Ia pun ingin berhenti tersakiti. Ia ingin berhenti menghukum dirinya sendiri dan salah satu cara hanyalah dengan aksi menjauhkan diri dari mereka.

Nyatanya, rasa candunya akan eksistensi kedelapan gadis jauh disana masih belum juga terobati. Getaran dari ponsel di tangan yang menampilkan satu nama familiar hingga menarik senyumnya, merupakan satu bukti konkret nan tak akan bisa disangkal.

Kak Tiff
Kamu kapan balik? |

Lantas di ruang obrolan pribadi lainnya, nama-nama yang juga cukup akrab di mata ikut menyusul.

Wendy
Kapan balik, Kak? Km harus ganti kebabku loh 😠 |

Wheein
Kak Rene kapan balik deh? |

Jarinya mulai gatal. Ada hasrat untuk mengetikkan balasan panjang lebar sembari mencurahkan getaran yang mengganggu relungnya selama ini. Tapi mungkin Tiffany memang benar tentang Irene yang telah perlahan menutup diri kembali.

Hanya satu yang cukup berhasil menembus pertahanannya.

Selalu satu.

Irene
| Aku nggak balik kayaknya, Kak Tiff.

Tiffany
Jangan mainan deh. Aku tanya serius |

Ada sedikit percikan di perutnya, mengetahui fakta bahwa Tiffany menjadi salah satu pihak yang menghubunginya pertama kali untuk membuatnya kembali. Tapi di sisi lain, Tiffany juga merupakan satu figur yang paling kuat mengingatkannya akan seberapa kacau dirinya ketika berada diantara mereka.

Melihat namanya saja Irene telah balik memikirkan segala kesalahan yang Ia lakukan, Ia tak lagi membayangkan bagaimana jika Ia menatap masing-masing perempuan di dalam rumah besar itu.

Sesaat Irene merenung untuk kesekian kali; berpikir apakah benar untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya terasa seperti akan meledakkan dadanya sewaktu-waktu.

Ngapain disembunyiin terus-terusan, toh aku gabakal balik lagi, satu asumsi yang membawa Irene lebih jauh menjadikan jari-jarinya bersiap untuk mengetik.

Tidak akan ada perpecahan karena sumber dari kekacauan itu sendiri adalah dirinya dan dengan perginya dia, Irene berpikir semua akan baik-baik saja.

Delapan sudah cukup.

Kehilangan satu tak akan banyak berpengaruh.

Irene
| Aku kangen kamu, Kak.

Bertepatan dengan Irene yang cepat-cepat menutup ponselnya lengkap dengan mematikan sambungan Internetnya lantas meletakkan ponsel dengan posisi terbalik, di detik yang sama Irene membiarkan ribuan rasa bersalah menyerbu sanubarinya.

Aku ngehancurin ikatannya.

Aku ngerusak ketentramannya.

Aku ngeretakkin keharmonisannya.

Aku pengacau.

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

Hayoloh... Irene gabalik. Delapan udah cukup katanya wakakakakaka 😀😂

Regards
- C

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang