Kisah hidup sederhana maupun rumit dari 9 perempuan yang akhirnya memilih untuk tinggal di satu atap yang sama meski awalnya hanya mengenal lewat dunia virtual. Di masa pandemi yang masih terasa menegangkan, tanpa sadar mereka telah membangun keluar...
"I kept my promise and you went beyond. Then, I couldn't hold it."
⟩⟩ H . O . M . E ⟨⟨
. . .
Mungkin Irene tidak sepenuhnya dirugikan dengan kedatangan Wheein. Lagipula jika dilihat-lihat lagi, Wheein memiliki probabilitas tertinggi tentang siapa yang akan tahan paling lama dengan sikap tidak stabil Irene.
Terlihat begitu lepas dan tidak berkutat dengan kejadian masa lalu.
Meski begitu, kembali lagi pada ketakutan Irene untuk tanpa sadar bergantung. Tetap saja terdapat kekesalan tersendiri begitu menyaksikan Wheein menuangkan air putih lantas menyodorkannya pada Irene yang tengah bersantai ria di sofa ruang tengah, memangku sebuah laptop diatas pahanya.
Alis tertaut Irene kala mendongak untuk menyorotkan tatapan tak terima pada Wheein, jelas mempertontonkan ketidak-setujuannya terhadap cara yang lebih muda menyikapi keadaan Irene.
Irene sakit. Bukan lumpuh.
"Bukannya kita udah deal? Nggak ada manja-manjain, nggak ada perlakuan khusus. You're just here to check out on me." Nada Irene rendah dan tegas. Sekilas menimbulkan sensasi merinding di kulit Wheein atas dasar rasa terintimidasi.
Satu langkah ke belakang yang Wheein ambil juga tak bisa berbohong. Irene keras jika sudah tentang aksi beralaskan kasihan dan iba.
"Oh, come on. Ini cuma air. Ambil ato mau sekalian dicekokin ke mulutmu, Kak?" Meski begitu, butuh keberanian amat besar bagi Wheein untuk balik ke posisi awalnya, lantas bersikukuh mengulurkan gelas dengan isi bergoyang tersebut ke arah Irene.
Tatapannya berusaha ditajamkan seakan-akan Ia bisa mengalahkan Irene dengan hal tersebut. Walau tak sepenuhnya benar, namun nyatanya hasil juga tak terlalu mengecewakan.
Terlepas dari seberapa kasar Irene mengambil alih benda kaca dari pegangan Wheein sampai isinya hampir saja meluber membasahi karpet, tapi senyum puas Wheein selanjutnya telah menjelaskan segalanya.
"Balik aja sana ke asrama!"
Sesungguhnya daripada marah, Irene lebih terdengar seperti merajuk layaknya anak kecil. Barangkali itu pula alasan mengapa Wheein menjadi lebih berani untuk mengolok Irene lewat juluran lidahnya. Ingin memamerkan bahwa Ia juga bisa menang melawan yang lebih tua.
Bila saja Irene memperhatikan lebih teliti, Wheein sebenarnya bersikap aneh hari ini. Tanpa Irene ketahui, Wheein telah beberapa kali melirik jam dinding diatas televisi sejak pagi tadi. Tampak seperti sedang menanti sesuatu.
Mengambil tempat disisi Irene, Wheein mengusap sudut dahi yang mencucurkan keringat akibat kegiatan bersih-bersihnya. Cukup kelelahan mengingat Ia sendiri tak mengijinkan Irene untuk membantunya.
Lantas seiring keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, Wheein mendadak mengalihkan pandangan dari layar televisi ke kaki Irene yang ditumpu diatas meja. Terbalut oleh sebuah stabilizer hitam yang membantu melindungi tulangnya agar segera pulih, dijejeri oleh satu walker stick yang disandarkan pada sofa solo kanan mereka.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.