#39. Years

124 22 4
                                        

"Comfort is one thing that makes you forget about time."

≈ H . O . M . E ≈

.
.
.

Langit cerah yang terproyeksi amat jelas dibalik pintu kaca sisi ruang tengah tak sekalipun mencegah anak-anak angin untuk membelai kulit lengan Irene yang terekspos.

Si perempuan berambut hitam panjang itu telah bertahan di posisi menyandar pada pembatas besi tangga selama kurang lebih 7 menit penuh.

Selagi tangan memeluk diri sendiri seolah mengantisipasi kesendirian nan akan segera berkunjung layaknya masa lampau, Irene tersenyum sendu.

Terkekeh pelan menjadi satu sarana yang Irene gunakan untuk menyampaikan apa yang berputar di kepala selama beberapa hari terakhir.

Bersama pandangan nan kembali mengarah ke ruang tengah sambil memutar ulang memori dimana 8 penghuni lain bercanda tawa disana, sudut mata Irene sedikit demi sedikit menurun.

3 tahun, huh?, Batinnya mencoba meresapi kembali tiap-tiap sensasi yang pernah Ia dapatkan semenjak mereka mulai masuk ke keseharian Irene.

Tenggelam dalam substansi yang Irene ciptakan sendiri di pikirannya akan selalu menjadi kegiatan paling menyenangkan meskipun Tiffany telah cukup sering mengingatkan bahwa hal tersebut hanya akan membuat Irene kelelahan.

Barangkali Tiffany sepenuhnya benar sebab nyatanya Irene bahkan tak menyadari bila terdapat langkah kaki dari lantai dua nan semakin mendekati areanya.

Terlalu jauh menyelam dalam segala asumsi serta praduga di logika.

"Mikirin apa hayo..."

Tentu saja kesadaran Irene kembali ditarik ke masa kini tepat ketika rambutnya tahu-tahu terbang kesana kemari hingga menutup wajah hanya karena jari-jari familiar menggeseknya tanpa perasaan.

"Kak!!! Aku habis keramas ish..."

Pada kenyataannya, bukan aksi Tiffany merusak kerapian surai hitam panjang Irene-lah yang membuat si mungil kesal, melainkan karena untuk kesekian kalinya Ia tertangkap basah tengah membiarkan dirinya sendiri menyelam makin dalam ke lautan pikiran.

Ditambah lagi, oleh orang figur yang sangat Ia benci namun juga gemari di waktu bersamaan.

"Dih... emang tanganku sekotor itu apa?!"

"Iya. Terlalu hina."

Senyum tak pernah luntur dari wajah Irene bahkan sebelum Tiffany menampakkan keberadaannya; seakan-akan Ia tak ingin memberantakkan tiap detik yang berjalan di hari ini dengan menghapus senyumnya sejenak saja.

Yang sama sekali tak Irene perkirakan ialah bila perasaan familiarnya akan kesepian nan menurutnya akan segera menjadi teman dekat sebentar lagi, seketika diputar balikkan menjadi sesuatu nan begitu ingin Ia hindari begitu suara Tiffany menggelitik punggungnya.

"Jangan terlalu akrab sama kesendirian ya, Rene. Kalo kamu udah mulai nyaman sama hal itu, telfon salah satu dari kita, besok. Okay?"

Netra gelap Irene yang awalnya tak memiliki arah tujuan selain pada pijakan kakinya, tahu-tahu terangkat sebelum berhenti pada satu titik di sudut ruangan yang sudah penuh dengan koper berbaris.

Mulai dari warna biru gelap kecil menggemaskan dengan gagang dihiasi berbagai macam pernak-pernik hingga sebuah koper besar warna merah menyala nan begitu polos dan sedikit membosankan.

Kemudian fakta yang sempat terlupakan oleh Irene, sedikit demi sedikit kembali mendesak relungnya hingga Ia merasa sesak; mengepalkan tangan di kedua sisi sebagai pelampiasan.

Seiring waktu terus berjalan beriringan dengan keheningan, satu persatu kontrol diri yang telah Irene kumpulkan runtuh secara sembunyi-sembunyi; sama sekali tak ingin siapapun tahu bila ada ketidak-relaan yang menekan dadanya ketika mereka mengatakan akan meninggalkan rumah tersebut di hari yang sama.

Meski Irene merasa udara telah diserap perlahan dari zonanya, Ia tetap memaksakan diri untuk berbalik memandang Tiffany yang sibuk dengan apelnya di counter dapur.

Senyuman tersebut tak hilang. Tak akan hilang sebelum Ia benar-benar sendirian.

"Hahaha iya, Kak. Congrats buat rumah barunya ya. Udah tercapai tuh mimpimu buat tinggal sama pujaan hati~ cie ciee..."

"Diem lu!"

Hap!

Bertepatan dengan dua telapak Irene yang berhasil menjebak apel lemparan Tiffany ke arahnya, yang lebih muda kemudian terkikik mendapati wajah Tiffany sudah merah padam.

Tentu terdapat sedikit keterkejutan kala Tiffany memberitahunya bila uang tabungan nan selama ini dibanggakan serta dipamerkan pada Irene, sudah berakhir menjadi satu bangunan elegan yang Tiffany tunjukkan potretnya.

Satu rumah sederhana bergaya modern di sebuah perumahan dengan tetangga yang kata Tiffany ramah, menjadi tujuan pasti si wanita berumur itu.

Belum lagi informasi menyusul mengenai Joy yang telah sepenuhnya setuju untuk Tiffany ajak tinggal bersamanya.

Perlu waktu untuk memproses seluruh berita mulai dari Tiffany nan akan segera merasakan bagaimana bahagianya dia bisa mencapai mimpinya, Jessica dan Yuri nan secara tak terduga diterima di perusahaan yang sama di kota sebelah, Moonbyul dan Wendy yang lolos diterima menjadi mahasiswi S2 di luar negeri, lalu terakhir terdapat Wheein serta Rosé nan memutuskan untuk tinggal di asrama kampus mereka.

Perlu waktu bagi Irene untuk menyadari bahwa Ia akan kembali tinggal di rumah cukup besar ini bersama singularitas.

Tetap saja, Ia harus terus tersenyum supaya mereka tidak khawatir.

Begitu, bukan?

"Good luck, kak!"

"Iya. Kamu juga ya."

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

"Because when you see people you love are happy, you'll start to look for a way to keep it lasting for a long time.."

Regards
- E

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang