#36. Individual

114 17 1
                                    

"'Til one by one, they were all gone."
- 99 Red Balloons by Sleeping at Last

≈ H . O . M . E ≈

.
.
Written and Collabed by: xlvstph
.
.

Setiap orang tentu memiliki permasalahan dalam diri atau kehidupan mereka. Dan jika membicarakan Joy, maka isu utamanya akan berpusat pada kepercayaan.

Joy kerap menemukan dirinya kesulitan untuk mempercayai.

Terhadap orang lain maupun dirinya.

Ia tidak cukup berani mengambil kesimpulan atas personanya sendiri lantas berakhir berasumsi apakah Ia sedang baik-baik saja atau tidak; selalu perlu keputusan orang lain untuk menilai. Joy hanya takut dicela bahwa apa yang Ia pikirkan tentang dirinya sendiri, salah dimata orang lain; bahwa praduganya tidak tepat.

Ia merasa tidak punya kendali atas dirinya.

Barangkali karena pemikian itu, Ia memilih untuk memendam segala pendapatnya sendirian; menutupnya begitu rapat dari semua orang.

Selain karena takut dikomentari, Joy tidak mempunyai cukup keberanian untuk mempercayai mereka sepenuhnya.

Menaruh kepercayaan kepada orang lain adalah sesuatu yang membutuhkan pertimbangan berkali-kali bagi Joy.

Ia selalu memandang kedepan sampai di titik dimana Ia memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan bilamana mereka berkhianat suatu saat; memperkirakan awal dan akhir dari sebuah hubungan.

Akibatnya, Ia sendirian. Bila ada segudang beban di pundaknya yang perlu untuk dilepaskan, tidak ada siapapun sebagai tempatnya bersandar. Joy harus menangani segala rasa gelisah dan emosi lain yang senantiasa mengusiknya, seorang diri.

Itu memang merepotkan. Sungguh merrpotkan. Tetapi di satu sisi Joy tetap tidak mau mempercayai salah satu dari mereka.

Ah, bukan tidak mau; hanya takut.

Ia takut masa lalu menakutkannya terulang; menempatkannya kembali dimasa-masa yang buruk. Mentalnya tidak cukup kuat untuk menghadapinya untuk kedua kali.

Malam itu untuk kesekian kalinya dalam tiga tahun terakhir, Joy kembali tersentak bangun akibat potongan-potongan kisah buruk dan suara-suara yang mencaci maki di belakang, seketika melintasi tidurnya. Badannya seketika bergetar hebat, ruangan terasa panas dan sempit; menyesakkan.

Tidak ada siapapun di sisinya sebab Ia memang tidak berusaha membangun kepercayaan yang kuat dengan kedelapan lainnya.

Joy takut saat ini. Amat takut.

Kenangan yang seolah tidak membiarkannya bebas, terus saja menjerat. Menjadikan Ia merasa bahwa kepalanya dapat meledak sewaktu-waktu, setiap sepotong adegannya melintas.

Haruskah Ia lari ke kamar Tiffany sekarang juga?

Meminta pertolongan perempuan itu untuk mengusir takut? atau kepada Wendy? atau Irene dan yang lain.

Tapi bahkan untuk berdiri pun Joy tidak mampu.

Pada akhirnya Ia hanya duduk termenung di tempat; menerima begitu saja serangan-serangan trauma yang menakutkan.

Perlu beberapa waktu hingga akhirnya Joy bisa bernapas lega. Suara-suara itu memudar dan kembali membiarkan ketenangannya kembali untuk sementara.

Joy tidak pernah mendapat kedamaian bila trauma itu belum hengkang.

Joy kembali berpikir kini. Ia merasa sudah mencapai batas dimana Ia tidak lagi sanggup terus menerima teror dari trauma itu. Ia perlu seseorang untuk menumpahkan semuanya.

Pertanyaan adalah siapa.

Ia masih cukup ketakutan untuk membuka diri kepada mereka. Namun jika tidak, apakah Joy harus terus hancur sendirian?

Bagaimana jika Ia menceritakan segalanya, mereka akan menilai bahwa trauma itu tidak begitu berarti dan tidak perlu lagi untuk terus dipikirkan?

Joy tidak ingin seperti itu. Ia perlu dimengerti dan diberi langkah bagaimana cara melupakannya.

Tetapi Ia tidak melihat poin tersebut di diri delapan gadis itu atau bahkan salah satu dari mereka. Kepada Tiffany pun Ia tidak membuka seluruh lukanya. Joy merasa, Ia tidak memiliki hak untuk membagi masalahnya yang barangkali akan dianggap orang lain sebagai sesuatu yang sepele. Toh, pasti mereka juga memiliki urusan masing-masing nan mungkin lebih berat daripada ini.

Singkatnya, Hidup mereka tidak untuk mengurusi masalah macam Joy.

Akankah dengan mempercayai mereka secara total, Joy bisa mendapatkan apa yang ia inginkan? Dapatkah ia melupakan traumanya?

Ia tidak punya jawaban itu sekarang.

Tidak akan pernah bila Joy tidak mau melangkah maju.

Rasa takut untuk mempercayai mereka perlahan luluh ketika kedelapannya membahas serius mengenai kepergian Irene beberapa waktu lalu.

Yuri menjadi sosok kuat dimana Joy dibuat memikirkan ulang mengenai kecemasannya. Perempuan yang lebih tua itu begitu serius menanggapi kepergian Irene; nampak berusaha keras membawanya kembali, lantas disusul pendapat-pendapat dari penghuni lain yang mampu membuat Joy semakin ragu akan tujuan dari batasan yang Ia buat.

Apakah mereka juga akan seperti itu seandainya Joy memilih menarik diri menjauh?

Mereka peduli dan paham satu sama lain.

Meski melihat hubungan yang kuat antar mereka, Joy masih saja sulit menaruh kepercayaan penuh.

Beberapa dari mereka tidak membuka diri, jadi haruskah Joy mengikuti langkah itu dan tetap diam saja?

Pernah suatu kali Joy berusaha membangun kepercayaan mereka. Ia mencoba mendengarkan setiap mereka bercerita dan berusaha memberikan saran sebaik mungkin.

Namun tidak bisa.

Joy malah merasa semakin jauh dan terus meragu.

Entah Ia tidak menemukan yang cocok di antara mereka atau mungkin hanya belum saatnya, yang pasti Joy perlu waktu untuk mengenali mereka satu persatu sebaik mungkin.

Meski begitu Joy terus meyakini satu hal; bahwa kelak mereka akan dapat menariknya dari jeratan traumanya. Ia hanya belum mengenali mereka sepenuhnya.

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

Hmmm... 😕😏

Regards
- C

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang