#1. The First

1K 71 7
                                    

"Wouldn't it be so relieving if we can have our people by our side all the time?" - C

≈ H . O . M . E ≈

.
.
.

Suara obrolan di sekeliling serasa menenangkan. Membuat Irene dapat mengalihkan segala pikiran meskipun Ia tahu bahwa cara tersebut justru adalah yang terburuk.

Senyum kecil disusul dengusan menahan tawa lolos dari bibir tipisnya ketika Ia kembali mengedarkan pandangan ke orang-orang yang duduk mengitari meja yang sama dengannya; tertawa akan kelakuan remaja-remaja yang seolah tak bosan melontarkan ejekan canda pada kaum-kaum dewasa.

Detik selanjutnya sama sekali tak terduga bahkan bagi dirinya sendiri; tak menyangka bila Ia bisa se-spontan itu tanpa memikirkan setiap resiko seperti yang biasanya dia lakukan.

"Pasti bakal nyenengin banget kalo kita tinggal bareng."

Dimulai dari yang paling tua menoleh cepat disusul 7 kaum hawa lain, Irene tahu-tahu merasa bahwa dirinya telah salah. Untuk yang entah keberapa kalinya, Ia menghakimi diri sendiri dalam batin; merasa terlalu bodoh karena telah berangan-angan tanpa rencana.

"Oh, sorry. Aku nggak... Maksudku... Aku cuma..."

Hembusan nafas panjang Ia lepaskan sebagai usaha untuk melepaskan ganjalan nan terasa memblokir jalur pernafasannya.

Tidak terlalu berguna, memang. Tapi setidaknya Ia bisa mendapatkan kewarasan dengan itu sehingga Ia akhirnya menemukan pilihan kata yang tepat untuk dijadikan penjabaran.

Tangannya mulai bergerak tak tenang seolah akan melakukan presentasi besar di depan petinggi perusahaan. Orang-orang yang telah Ia kenal selama hampir 2 tahun lewat dunia online itu pun sesungguhnya juga tahu bahwa gerakan Irene hanyalah sebuah penyaluran dari kegugupannya.

Mereka tahu.

Mereka selalu mengamati.

Irene suka dimengerti, namun Ia benci dibaca. Mungkin hal tersebut pula yang membuatnya sadar dan balik meletakkan tangan diatas meja dengan posisi tangan satu menumpuk yang lain.

Gestur menutup diri.

"Aku cuma mikir aja. Kita akhirnya ada di satu kota setelah kenal lumayan lama, plus kita juga jauh dari orang tua. I mean, why not, right? Kita bisa jaga satu sama lain. Bukannya itu..."

Kegelisahan mulai tersapu aliran kepercayaan diri, senyum Irene pun ikut kembali ketika dasar syaraf otaknya memutar ulang kalimat-kalimat mengharukan kala mereka membicarakan hal serius di waktu masih berada beratus-ratus kilometer antara satu dengan yang lain.

Ia merindukan mereka, jelas. Mungkin tidak hanya Irene, mereka semua pun pasti begitu semangat beberapa menit lalu untuk bertemu di tempat ini, akhirnya dapat menatap wajah satu sama lain bukan hanya tulisan dalam sebuah ruang obrolan WhatsApp.

Tidak seperti optimismenya, keheningan justru menjadi satu-satunya yang menjawab segala dorongan menggebu-gebunya. Dan sebagai orang yang mudah terserang kenegatifan, Irene diam-diam menarik balik tiap kalimat yang telah lolos.

"Itu konyol banget haha... I'm sorry. Nggak mungkin juga kita—"

"Oke, ayo."

"Huh?"

Tapi sahutan Tiffany seolah menarik lagi semangat yang sudah hampir tenggelam; seolah Tiffany pun memiliki pemikiran yang sama dan tak ingin melihat Irene kehilangan ambisinya.

Mungkin itu juga yang membuat Irene sering takjub padanya. Kedewasaan, ketenangan, dan karisma yang Tiffany simpan dalam dirinya.

"Yes! Aku juga ikut!!!"

Diikuti oleh Joy, sang anak beasiswa yang bulan depan sungguh akan mengepak barang-barang keluar dari rumah aslinya di kota sebelah demi menuntut ilmu.

Mulai dari situ, sahutan yang lain pun menjadi sebuah sorakan tersendiri yang menjadikan hati Irene penuh; merasa tak lagi kesepian seperti sebelumnya.

Lantas dalam diam Irene menatap Tiffany yang ternyata juga tengah menatapnya, dan berucap tanpa suara, "Thanks, Kak."

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

I don't know... Aku mikir bakal banyak banget struggle disini. Tapi gatau bakal sesuai sama rencana ato engga. Hope this is good enough for you...

Regards
- E

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang