#13. Closer

232 29 23
                                        

"I need to care for others, so that I won't lose myself."

H . O . M . E ≈

.
.
.

Kebimbangan adalah satu variabel yang telah menjadi bagian dari diri manusia sejak lama, bahkan mungkin sejak mereka diciptakan. Jadi agaknya tak perlu terkejut ketika 9 perempuan yang akhirnya hidup di satu atap yang sama, selalu dikelilingi oleh pertanyaan.

Hanya saja perbedaannya, kelesah di hati Irene entah bagaimana caranya selalu satu level lebih tinggi dari yang lain; menjadikannya sering hampir kehilangan kewarasan akibat peristiwa-peristiwa sederhana.

Lantas kini, usai menjemur pakaiannya di sebuah sela di atap rumah, Ia lagi-lagi diserang kebingungan kala menangkap Tiffany duduk di tangga sembari memainkan jari diatas permukaan benda elektroniknya.

Kejadian beberapa hari lalu dimana Ia mendorong Tiffany keluar dari batasan yang selama ini selalu dapat ditembus oleh perempuan itu, balik terputar di dasar syaraf otak Irene; memunculkan rasa bersalah di satu sisi, namun juga sebuah enigma akan bagaimana Ia harus bersikap.

Irene bersumpah bahwa Ia sama sekali tak memiliki niat untuk mengintip, namun mengingat posisinya saat ini, tidaklah heran bila Ia dapat dengan mudah menangkap siapa yang tengah Tiffany hubungi saat ini.

Ruang obrolan line dengan satu nama gadis yang pernah Tiffany ceritakan, nampak di sisi kiri atas layar dengan begitu kentara.

Yoona.

Senyuman yang Irene munculkan setelah Ia duduk di sisi Tiffany sambil menatap ke ruang tengah dimana 7 perempuan lain sedang mengobrol seperti biasa, agaknya Irene gunakan sebagai isyarat bahwa Ia sebenarnya paham.

"Udah confess?", tanya Irene langsung pada inti, mengingat Ia memang tak pernah suka pada basa-basi tak berguna.

"Mmm..."

Gumaman samar yang terbentuk sebagai jawaban pun sudah dapat Irene artikan bahwa alurnya tidak semulus yang dibayangkan.

"Terus?"

"Semenjak itu dia malah selalu ngalihin topik ato cuma becandain kalo aku bahas."

Ekspresi pasrah nan terpampang amat gamblang sesungguhnya menaruh tamparan cukup keras di relung Irene. Memori akan bagaimana keras kepalanya sikap Irene kala menyarankan Tiffany untuk mengungkapkan perasaannya pada Yoona, seketika menjadi bumerang bagi diri sendiri; menciptakan suatu perasaan bersalah atas saran yang salah.

Meski disisi lain Irene bersyukur bila Tiffany tak harus menyembunyikan rasa sukanya pada Yoona lagi, tapi tetap saja; ending mengubah segala kekokohan prinsipnya.

Mungkin seharusnya Ia tak perlu memberi Tiffany saran.

Mungkin seharusnya Ia mundur saja dan memberikan Tiffany kebebasan untuk memilih sendiri langkahnya.

Mungkin memang kegigihannya yang sering tanpa sengaja melukai orang lain.

Dengan asumsi yang lebih terarah pada penghukuman diri sendiri, Irene lantas justru meloloskan komentar spontan nan tercipta atas dasar kekesalan pada perlakuannya sendiri.

"Yaudahh sih, Kak. Buang aja. Lagian disini ada 7 cewek. Tinggal pilih aja satu."

Irene tahu Tiffany berusaha.

Ia tahu Tiffany selalu mengeluarkan upaya terbaiknya untuk mencoba melepaskan yang memang tak bisa dikejar, mengingat Tiffany telah memiliki lebih banyak pengalaman tentang hubungan dengan sesama gender daripada Irene sendiri yang tergolong pemula dalam hal ini.

Termasuk dengusan rendah usai Irene selesai menyampaikan kalimat impulsifnya; Irene paham bila daripada mengatakan pada Irene bahwa Tiffany belum bisa, Tiffany akan memutuskan untuk mengikuti alur yang Irene inginkan; selalu begitu.

Alih-alih 'Nggak semudah itu, Rene', Tiffany justru menguraikan kalimat menurut seperti, "Siapa emangnya?", yang mana langsung Irene deteksi sebagai penyampaian bahwa Ia butuh pengalihan; membuat Irene merasa bersalah lebih lagi, sebab Ia tetap saja memerintah meski mengerti tentang fakta bahwa berbicara lebih mudah daripada melakukan.

Frekuensi Tiffany mengeluh padanya bisa dihitung jari. Dan Irene malah merasa buruk karena Ia pun hanya memahaminya dalam diam lantas membiarkan Tiffany mencoba terlalu keras.

Apakah Irene harus membuka kekesalan Tiffany dengan lagi-lagi memerintahkannya untuk tak berpura-pura baik-baik saja? Atau haruskah Ia mengikuti alur yang Ia buat sendiri seperti yang Tiffany lakukan?

Selalu ada pertimbangan di kepala Irene yang tanpa Ia sadari malah menjadi beban nan sedikit demi sedikit membentuk tumpukan yang akan terasa berat di masa depan kala Ia balik memutar kenangannya.

Namun untuk kesekian kali Ia mengandalkan sifat pengecutnya; mengikuti Tiffany untuk mencari pengalihan. Maka dari itu Ia balik mengarahkan sorot mata ke ruang tengah dimana semuanya tengah menertawakan Wheein entah karena apa.

"Kenapa nggak sama Joy aja?"

"Joy?? Loh, dia juga gay?"

Bersamaan dengan Tiffany yang mengerutkan alisnya atas dasar kebingungan, di detik yang sama Irene membelalak terkejut; ingat bahwa Joy mungkin menceritakan tentang orientasi seksual hanya padanya dan tidak pada para dewasa.

Ini sama saja Irene mengekspos Joy yang mana jelas bukan merupakan tempatnya untuk melakukan hal tersebut; bukan merupakan haknya.

"ADUH WTF ANJIM KECEPLOSAN!!!"

Kekehan Tiffany yang mengalun lugu menelusup gendang telinga kanannya malah ternyata menambah intensitas rasa malu di dalam diri Irene hingga yang lebih muda menutup wajahnya, disusul geraka menoleh, masih dengan telapak menyampuli parasnya.

"Please jangan bilang siapa-siapa! Jangan bilang Joy kalo aku ngasih tau kak Tiff, ya?? Ya yaaa????"

"Hahaha... Iya iya, enggak ku kasih tau."

Setelah itu semuanya kembali hening di sekitar mereka berdua. Hanya kerusuhan di ruang tengah yang disebabkan oleh umpatan-umpatan Wendy–lah yang mengisi kesenyapan.

Sampai di satu titik, celetukan Tiffany mengundang leher Irene menoleh bersama senyum semangat.

"Tapi 'kan aku nggak deket sama Joy. Kamu juga tau aku sama dia bahkan nggak sesering itu komen komenan di grup."

"Gampang kalo masalah itu mah! Aku bisa bantu!!"

Mungkin karena kalimat Irene yang begitu samar diartikan atau barangkali karena semangat menggebu-gebu nan tahu-tahu muncul, Tiffany seketika menyentak lehernya ke samping bersama tatapan skeptis.

"Apaan tu maksudnya? Mau ngapain kamu?"

Tak menggubris pertanyaan Tiffany, Irene memilih untuk berdiri lantas melangkah menuruni beberapa anak tangga bersama keranjang bekas wadah pakaiannya tadi di tangannya, lantas berhenti dan menoleh disusul mengedikkan bahu seolah apa yang akan Ia lakukan bukanlah sebuah hal penting.

"Ya mau bilang kalo kak Tiff pengen deketin dia."

Melarikan diri ke kamarnya, Irene meninggalkan Tiffany yang berdiri cepat sambil berteriak hingga mengundang perhatian dari sosok-sosok di ruang tengah.

"HEH, GA GITU YA, RENE!! HEH JAENABB!!"

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

Hmmm... 😌😏

Regards
- E

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang