"Sometimes we just need to listen. Not giving advice, not blaming, not cornering. Just listen."
≈ H . O . M . E ≈
.
.
."YURI!!!"
Bertepatan dengan Jessica yang berteriak heboh kala Ia membuka pintu utama dan menyaksikan sosok familiar menggeret koper besar, detik yang sama Tiffany juga menuruni tangga dengan Joy mengikuti di belakangnya.
Sekilas Tiffany dan Irene sempat berkontak mata satu sama lain dengan tatapan tak terdefinisi sebelum sama-sama beralih ke arah pintu dimana wanita berambut hitam panjang mengkilat, masuk melewati batas dalam.
"Wait, Stop!!" teriak Irene selagi Ia berdiri lalu mengulurkan tangan kedepan seolah memberi isyarat bagi Jessica maupun Yuri untuk tidak merasuk lebih jauh ke area rumah.
"Kak Yul, mandi dulu. Dan kak Jes, cuci tangan sana!"
Sementara itu, Wendy dan Wheein malah menatap satu sama lain dengan dua alis diangkat membentuk kerutan di dahi serta bibir ditarik kebawah. Pada dasarnya mereka berdua tengah menyampaikan, 'here we go again' mengingat mereka telah hafal sifat Irene yang begitu memaksa akibat paranoidnya terhadap covid.
Tapi diam-diam Irene sesungguhnya bersyukur bahwa Yuri akhirnya datang juga. Sesungguhnya sedari awal Yuri sudah memberi tahu semua orang bahwa dirinya akan menjadi sosok paling akhir nan bergabung ke rumah ini. Irene hanya tak menyangka bila Yuri akan mengambil keputusan secepat itu.
Kini semua fokus permasalah kembali pada Joy yang telah mengambil tempat di sebelah Wendy sementara Rosé masih sama seperti sebelumnya; bersembunyi di belakang pundak Irene sambil sebisa mungkin menghindari berkontak mata dengan Joy.
Daripada marah, sebenarnya Rosé hanyalah sekedar mendengarkan teriakan Joy hari itu yang mengatakan bahwa si jangkung tengah frustasi akan hasil belajarnya; menjadikan Rosé mengerti bahwa Joy memang sedang membutuhkan space untuk dirinya sendiri.
Barangkali itu pula alasan Rosé lebih memilih untuk berdiri kemudian melangkah menuju counter dapur dengan beralasan bila Ia ingin mengambil minum padahal kenyataannya terdapat satu cup cola di sisi kanannya.
Yang sedikit mengejutkan Irene ialah pemandangan dimana Joy menggeser tubuhnya ke kanan untuk berbisik pada Wendy daripada ke Tiffany padahal seseorang yang berhasil membawa dirinya keluar dari zona persembunyian justru merupakan sosok di sisi kiri Joy.
"Kak Wen, apa aku minta maaf sekarang aja?"
Dilihat dari bagaimana tempo kunyahan Wendy semakin berkurang hingga sepenuhnya berhenti, Irene maupun Tiffany dapat menyimpulkan bahwa Wendy pun sesungguhnya belum terlalu tahu harus memberikan jawaban apa.
Namun pemikiran bahwa Ia lebih tua dan harus mengasuh yang lebih muda, maka Wendy diam-diam menguras otaknya untuk memberikan jawaban paling tepat bagi kebimbangan Joy.
"Kalo itu bisa bikin kamu lega, kenapa engga?", Bisik Wendy balik.
Lantas seperti yang sudah diperkirakan Wendy, beberapa detik kemudian Joy berdiri sebelum akhirnya menghampiri Rosé di counter dapur; memposisikan diri senyaman mungkin di bangku tinggi sementara Rosé sibuk membuat squash dengan jus jeruk serta soda di kulkas tanpa memperdulikan tulisan 'punya Wheein' di salah satu botolnya.
Ada segelintir kontemplasi di dada Joy akan pemilihan kata-kata yang paling sesuai supaya tak lagi-lagi menyakiti Rosé seperti kemarin. Tapi mungkin rasa bersalahnya sudha terlalu memenuhi kepala sehingga menutup logika dan jadilah Ia tak menyusun apapun selain dua kata sederhana.
"Maaf, Rosé."
• × •
Setelah itu ruang tengah menjadi sangat ramai dan hangat.
Namun Irene masih mendeteksi aura gelap nan dingin yang seolah tak bosan memeluk Moonbyul. Lantas di detik Irene membuka mulutnya, hendak mengambil langkah untuk menyamankan Moonbyul, disaat yang sama targetnya membuka suara.
"Guys..."
Hanya satu panggilan dan semua langsung menghentikan obrolan mereka demi menaruh perhatian penuh pada si sumber suara. Tundukan kepala Moonbyul dengan layar ponsel menyala di genggaman sesungguhnya telah menjadi isyarat paling gamblang bila ada sesuatu yang salah.
"Aku bingung harus gimana."
"Gimana apanya?"
Tipikal Wendy yang selalu menyahut tanpa berpikir terlebih dahulu; tidak seperti para wanita berusia yang sesungguhnya memiliki pemikiran yang sama; lebih memilih menunggu hingga Moonbyul siap mencurahkan segalanya tanpa harus didorong-dorong.
Sesaat hanya ada diam seakan-akan Moonbyul kembali mempertimbangkan apakah aksinya untuk membagi beban pikiran adalah benar. Namun ketika Ia meletakkan ponsel di meja dengan posisi layar tertempel di permukaan, mereka tahu bahwa Moonbyul sedang ingin serius.
"Seokjin, temenku. Kalian udah tau pastinya. Aku ngerasa berat banget temenan sama dia."
"Ada apa emang?"
Bersamaan dengan Wheein yang mengambil giliran untuh menyahut, persona lain di ruangan itu justru menghembuskan nafas panjang seolah sudah tau dan sudah sangat hafal dengan apa yang mungkin akna diceritakan oleh Moonbyul.
"Dia selalu ngebikin pertemanan itu tentang dirinya. Dia marah kalo nggak dikado di hari ulang tahunnya, dia nyindir kalo aku tegur soal sesuatu yang nggak seharusnya dia lakuin, dan dia juga bicara seenaknya."
Tipe-tipe peneliti seperti Tiffany atau Irene pun sudah menyadari bahwa sedari awal Moonbyul memulai, wajahnya telah tampak begitu lelah serta kewalahan akan apa yang harus Ia hadapi tentang temannya tersebut.
Mereka pun telah membicarakan Seokjin sejak masih berkomunikasi lewat group chat sehingga mungkin sedikit tidak asing untuk lagi-lagi membahas keanehan karakter orang itu.
Moonbyul sendiri sudah sering diberitahu untuk tidak lagi berhubungan dengan Seokjin mengingat lelaki tersebut hanya menambah beban di pikirannya.
Tapi seperti Moobyul yang sudah beberapa orang ketahui seluk beluknya, mereka paham bahwa Moobyul sangat mudah segan terhadap sosok lain.
Belum ditambah fakta bahwa Seokjin merupakan seseorang yang menemani Moonbyul di saat-saat awal kuliahnya ketika Ia tak memiliki satupun teman di kampus, menjadikan Moonbyul berpikir bahwa Ia memiliki sebuah hutang budi yang barangkali hanya bisa dibayar dengan terus menjadi temannya.
"Kamu nggak capek, Byul?"
Satu pertanyaan cukup sederhana dari Irene yang di mata orang lain terdengar sangat mudah untuk dijawab, nyatanya diterima oleh Moonbyul dengan amat berat sampai-sampai perempuan tersebut tak bisa menyerahkan balasan apapun selain helaan nafas panjang; membuktikan bahwa level kelelahan Moonbyul telah melebihi standar untuk dapat diungkapkan secara verbal.
"Hey, aku tau kamu mikir dia ini kesepian dan butuh perhatian. Tapi kalo kamu mengorbankan mentalmu sendiri apakah worth it?"
Detik selanjutnya setelah Irene menyampaikan responnya, Ia merasakan sebuah tangan menyentuh punggung tangannya sendiri diatas meja; seolah memberinya isyarat untuk berhenti.
Lantas ketika Ia menoleh dan mendapati Tiffany menggeleng pelan, Ia tahu bahwa perspektif serta caranya dalam menanggapi sesuatu, sepenuhnya berbeda dengan yang lebih tua.
Kemudian membiarkan yang lebih muda menghujaninya dengan hiburan serta kalimat nasihat, para tetua serta Irene sendiri berakhir bungkam sambil sesekali menimpali.
Mungkin tidak untuk hari ini.
.
.
.≈ H . O . M . E ≈
Regards
- E

KAMU SEDANG MEMBACA
Home ✔
أدب الهواةKisah hidup sederhana maupun rumit dari 9 perempuan yang akhirnya memilih untuk tinggal di satu atap yang sama meski awalnya hanya mengenal lewat dunia virtual. Di masa pandemi yang masih terasa menegangkan, tanpa sadar mereka telah membangun keluar...