Ini part terakhir sebelum aku log-out untuk beberapa saat. Maksudnya bukan terakhir 'terakhir' yaa...
.
"Keep in touch no matter how much we put scar on each other skin." - C
≈ H . O . M . E ≈
.
.
Written and Collabed by: ListaMawarni3.
.Semalam sebelum kepulangan Irene.
Duduk sendirian di ruang tengah sambil menonton televisi adalah suatu hal yang kerap dilakukan Yuri ketika teman serumahnya sedang melakukan kegiatan masing-masing atau belum pulang dari tempat kerja.
Namun, sejak awal televisi menyala, fokus Yuri tidak berada di sana; jadi dapat dikatakan bila televisi-lah yang malah menonton dirinya; menyaksikan dirinya yang hanya diam ditemani pikiran-pikirannya.
Yuri tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh Irene sehingga memilih untuk pulang; melarikan diri dari masalah yang ada, atau bisa disebut kabur dari pikirannya yang selalu terikat pada hal nan cukup negatif.
Yuri memikirkan Irene, karena Irene termasuk teman yang sangat dekat baginya. Ia acap kalo merasa bahwa sebenarnya dirinya tidak sedekat itu dengan teman serumahnya, kecuali Tiffany dan Irene.
Yuri merasa bahwa dirinya bisa dekat dengan Tiffany sebab mereka berdua berada diumur yang sama; menjadikan dia nyaman untuk bercerita atau bercakap-cakap dengan Tiffany.
Tidak bisa dipungkiri, sifat Tiffany yang ramah, pengertian, dan sangat perhatian bahkan terhadap hal kecil pun, sukses meletakkan rasa nyaman pada banyak orang.
Termasuk Yuri.
Walau berada diumur yang sama, Yuri menganggap Tiffany adalah sosok Kakak perempuan terbaik baginya; sosok Kakak yang dia temui semenjak berkenalan di dunia virtual, kala itu.
Yuri sangat suka bermanja ria dengan Tiffany. Respon Tiffany saat dirinya sedang dalam mode manja; membuat hatinya menghangat merki terkadang saat itu dirinya juga merasa tidak enak dengan Joy, tapi tetap saja, Tiffany sudah Ia anggap seperti Kakak sendiri; tidak lebih.
Ada yang Yuri ingat tentang perlakuan Tiffany nan begitu menyentuh hatinya.
Saat itu, dirinya hanya berdiam di kamar akibat sakit dan tidak mengatakannya ke teman serumahnya.
Merepotkan.
Itu lah yang ia pikirkan saat itu. Ia sangat takut merepotkan yang lain, sementara mereka sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Namun yang mengejutkan, Tiffany datang kepadanya. Membawakan vitamin serta makanan kesukaannya.
"Cepat sembuh ya!"
Itu kalimat pertama yang Tiffany ucapkan sambil memberikan apa yang Ia bawa untuk Yuri.
Yuri tersenyum lebar. Dalam hati ia sungguh sangat senang; sama sekali tidak menyangka ada yang amat perhatian kepada dirinya mengingat statusnya di rumah ini termasuk ke dalam tetua yang seharusnya memperhatikan yang lebih muda.
Yuri memakan pemberian Tiffany, sambil membicarakan diri mereka yang sering sakit. Tanpa mereka tau, Irene mendengar pembicaraan mereka, lantas memilih bergabung.
"Kalian udah lansia sih, gak heran kalo sering sakit-sakitan."
Kalimat pertama yang diutarakan Irene saat masuk ke dalam kamar Yuri, dengan tawa khasnya, nyatanya cukup berhasil mencairkan suasana yang sebelumnya terasa sedikit serius.
Yuri senang bertemu dengan Irene.
Irene bagai pembawa angin dingin saat yang ada di sekitarnya hanyalah angin panas.
Yuri beranggapan bahwa karena dia sering bercerita pada Tiffany dan Irene, hal tersebut menyatakan mereka dekat.
Tapi ternyata tidak.
Hanya Yuri yang menganggap mereka berdua dekat dengannya, tidak dengan mereka. Sebab mereka tidak pernah menceritakan apa yang mereka rasakan; kecuali jika Ia yang bertanya lebih dahulu.
Yuri merasa menjadi orang bodoh sendiri; tidak mengetahui apa yang temannya rasakan padahal Ia selalu bercerita kepada mereka berdua.
Sempat terlintas dipikiran Yuri, "Ah tapi mungkin juga mereka gak mau cerita karena tau aku habis putus dari pacarku dan mereka ga mau membani pikiran aku lagi."
Yuri berusaha berfikir positif dengan memikirkan alasan tersebut, tapi ternyata tidak cukup membanti sebab faktanya asumsi negatif lebih menguasai pikirannya.
Dirinya sangat kesal. Kesal sebab merasa tidak dihargai sedikit pun; karena tidak bisa menjadi tempat cerita mereka.
Pernah ada suatu momen di ruang obrolan grup yang menampilkan judul "Rapat.", dirinya spontan mengatakan Irene egois; refleks.
Ia hanya kesal. Emosi yang ada di dalam dirinya tidak dapat ia kontrol. Bahkan setelah mengatakan Irene egois, Ia sempat memblok nomor gadis itu meski Irene tidak akan hal tersebut.
Yuri mengetahui, Irene tidak tahu bahwa dia diblokir. Ketika Ia tanpa sadar telah menghubungi Irene menggunakan nomor cadangannua, mengatakan bahwa Ia sudsh memblokir Irene, balasan Irene justru membuatnya semakin kecewa.
"Aku blok balik ya, Kak."
Yuri sangat, sangat kesal. Untuk apa juga dia memblokir jika malah dirinya yang diblock balik? Ia memblok agar Irene sadar; bukan untuk menerima balasan seperti saat itu.
Lantas detik itu juga, Yuri membuka blocknya. Ia sempat bingung sebab mendapati Irene tidak memakai profil picture; Berpikir bila Irene bersungguh-sungguh akan ucapannya sebelumnya. Namun setelah Yuri mencoba untuk mengirimkan pesan, ternyata tidak; Irene hanyalah menghilangkan fotonya.
Memang benar, Irene diam-diam suka membuat orang kesal.
Dan walaupun dirinya merasa tidak dekat selain dengan Irene dan Tiffany, Yuri tetaplah berterima kasih dengan enam perempuan lainnya; enam perempuan yang pasti juga selalu ada jika ia membutuhkan mereka.
Yuri sempat berpikir bahwa enam perempuan lain hanya berada di dunia masing-masing, kala itu. Jadi, Ia merasa tak perlu repot-repot untuk mengajak mereka masuk kedalam dunianya atau Ia yang masuk ke dalam dunia mereka.
Tetapi dirinya salah.
Dia juga butuh mereka, jadi ia harus masuk ke dunia mereka meski hanya sekedar menjadi badut yang menyenangkan. Karena ia suka; suka melihat tawa mereka akibat keabsurdan atau kekonyolan yang dirinya buat.
"Aku harap keharmonisan keluarga dirumah ini tetap terjaga, ya meski nggak sedarah aku tetep pengem kita semua saling terikat dan jadi satu kesatuan. Nine or none."
.
.
.≈ H . O . M . E ≈
Irene emang kocak kalo udh main block xixixi
Regards
- C
KAMU SEDANG MEMBACA
Home ✔
FanfictionKisah hidup sederhana maupun rumit dari 9 perempuan yang akhirnya memilih untuk tinggal di satu atap yang sama meski awalnya hanya mengenal lewat dunia virtual. Di masa pandemi yang masih terasa menegangkan, tanpa sadar mereka telah membangun keluar...