#21. Reguler

130 22 6
                                    

"Hanging out with you is the most favorite thing I wanna do all the time because I don't like feeling lonely." - C

≈ H . O . M . E ≈

.
.
.

Pagi ini tak memiliki banyak perbedaan dibanding kemarin. Keseharian yang telah terlalu familiar dijalani oleh perempuan-perempuan muda yang tinggal di satu atap yang sama, kembali dijumpai.

Namun barangkali sebagian besar dari mereka sudah dipaksa untuk balik berkutat pada kelas virtual mengingat semester baru telah dimulai lagi, jadi tidak ada yang menyadari bila pintu kamar Irene yang terbuka sejak pagi buta sesungguhnya memberikan tanda bahwa tak ada penghuni di dalamnya.

Mungkin hal itu pula yang mengundang Tiffany -yang sudah terbiasa bangun paling awal dibanding gadis lain- terpaku pada ponsel menyala di genggaman yang menampilkan satu kalimat singkat dari Irene di seberang sana, usai Ia melontarkan sederet pertanyaan pada sosok mungil tersebut.

Irene
Pulang kampung. |

Satu-dua hal nyatanya tak bisa diusir dari diri Tiffany yang lebih banyak mendeteksi keanehan daripada sebuah jawaban.

Sama seperti Wendy yang tahu-tahu telah memunculkan diri di anak tangga paling bawah ketika Tiffany menoleh akibat suaranya nan cukup mencuri fokus.

"Kak Irene udah berangkat kerja, Kak?"

Kata demi kata sesungguhnya telah masuk ke telinga Tiffany, namun ketika mata kembali ke ruang obrolannya dengan Irene di salah satu aplikasi mengobrol dengan icon berwarna hijau, kerutan lagi-lagi muncul tanpa diinginkan di dahi yang lebih tua.

"Katanya sih pulkam."

"Hah? Seriusan? Kok tiba-tiba banget?"

Kekhawatiran namun juga sentakan kesadaran bila Irene telah balik menutup diri, mengundang Tiffany untuk meletakkan ponselnya kemudian berdiri untuk menghampiri Wendy yang kini menuangkan air putih di sebuah gelas ramping.

"Yaudah, besok tanyain aja kalo udah balik."

"Mm-hmm."

Sesaat, keheningan menyelimuti mereka berdua seolah-olah menunggu sampai salah satu menyerah lantas menciptakan sebuah topik untuk dibicarakan.

Atau barangkali mereka pun telah merasa nyaman satu sama lain hingga diam pun tak dapat menjadi alasan untuk menghindar. Terlihat dari bagaimana Wendy menyangga satu tangannya di pinggang selagi tangan lain mengantarkan gelas ke bibir, kemudian menoleh ke arah Tiffany yang tampak sibuk membuat cereal.

"Kak Tiff jadi jalan sama Joy nanti sore?"

"Jadi. Kenapa emangnya?"

Mata Wendy yang secara aneh tampak begitu datar tak bermimik telah menjadi isyarat tersendiri bila ada hal yang ingin Ia sampaikan untuk sekedar meluncurkan aksi jail seperti dirinya biasanya.

Tapi terlalu sibuk menuangkan susu dari kotak kertas di kulkas ke satu mangkuk penuh oat, Tiffany bahkan tak memiliki waktu untuk sekedar melirik ke arah wajah Wendy yang masih setia mempertahankan ekspresi datarnya.

"Titip dong."

"Hmm. Titip apaan?"

"Pajero sport satu, tas Channel satu, sama real estate Podomoro ya kak."

Tolehan pelan yang dilakukan Tiffany layaknya di film-film horror tak terhindarkan selagi Wendy masih mencoba menjaga ekspresi datarnya supaya tak berubah menjadi gelak tawa.

"Wen, aku pegang susu kotak lho. Nyiramin ke mukamu nggak bakal susah banget ini."

"BHAHAHAHA NGAKAK... Becanda kak, becandaa.."

Tak peduli air minum yang terpercik dari mulut Wendy, Tiffany pun juga berusaha mempertahankan ekspresi kesalnya padahal ada hasrat untuk ikut tertawa di dalam dirinya.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal titip. Si Irene tadi titip pesen di chat. Katanya kebabmu di kulkas dibawa semua sama dia."

"HAH?! SEMUANYA?"

Perubahan dari ekspresi geli di wajah Wendy ke raut terkejut membelalak, tak membutuhkan lebih dari dua detik usai Tiffany menyelesaikan kalimatnya. Tiffany pun juga yakin bahwa pekikan Wendy barusan dapat dijadikan alarm paling ampuh untuk membangunkan penghuni lain hanya dalam satu kali percobaan.

Terbukti dari geraman yang bersumber dari satu figur tertua di rumah itu -Jessica- yang tengah menuruni tangga dengan rambut berantakannya, sembari sedikit menekan lubang telinga atas upaya meredam suara Wendy agar tak merusak gendangnya.

"Katanya sih semuanya. Cek aja."

"LAH IYAAA.... PADAHAL KAN AKU NYIMPEN 10. MASA DIBAWA SEMUA?!?!??!"

Kedikan bahu Tiffany yang tampak tak terlalu acuh, disusul kekehan kecilnya melihat Wendy begitu frustasi, nyatanya sama sekali tak membantu mendinginkan suasana.

"Dia mau sekalian jualan kali di jalan pulang."

"KAK TIFF!!! AKU LAGI ESMOSI NIH...."

Bersama Wendy yang berhenti mencari-cari bahan simpanannya di seluk-beluk kulkas, detik yang sama Tiffany mengangkat mangkuk serealnya dari counter dapur, lantas berjalan ke dekat Wendy sebelum diikuti aksi menyentil pelan dahinya.

"Makanya jangan suka godain Irene kalo udah soal kebab."

Di menit komnetar Tiffany berhasil meresap di dasar otak Wendy, yang lebih muda mulai ingat bahwa selama ini ketika Irene merengek meminta kebab, Ia selalu menjahilinya dengan memamerkan kebab kepemilikannya di kulkas.

Sekarang Wendy tahu, Ia tidak bisa main-main dengan Irene jika sudah tentang makanan.

"AAAAAA... KAK IRENE BANGSAT!!!"

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

Asik teryata bikin plot ringan gini hehehe....

Regards
- C

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang