#40. Goodbye(s)

216 21 18
                                    

"Alone is fun."

H . O . M . E ≈

.
.
.

Cklek.

Jari lentik Irene menekan saklar lampu di sudut dekat pintu utama; sedikit mengedarkan pandangan pada ruangan nan telah gelap sepenuhnya sembari mencoba untuk menjadikan matanya sedikit terbiasa akan ketidak–beradaan kedelapan perempuan yang memang akan segera meninggalkan tempat itu; meninggalkannya.

Lagi, tampilan senyum sendu bersama mata sayu tahu-tahu terpampang begitu saja tanpa sempat Irene sembunyikan, sampai sebuah tangan menyentuh pundaknya dari luar teras dibelakangnya.

"You okay? Apa mau ditemenin lebih lama?"

Irene jelas mengerti total maksud kalimat Yuri barusan. Ingin sekali Ia meneriakkan kata "iya" dengan mata memohon supaya tak ada satupun dari mereka yang memiliki niat atau bahkan sekedar pemikiran untuk pergi.

Namun ketika Irene berbalik dan mendapati Wheein, Wendy, serta Jessica tengah tertawa terbahak menontoni Tiffany yang menjebak leher Rosé di lengannya, seketika rencana sebelumnya terhapus begitu saja dari kepala.

Ia sudah cukup mendapatkan kebahagiaannya bersama mereka.

Kini mereka–lah yang memegang keputusan akan apa yang benar-benar mereka inginkan selanjutnya. Tentu Irene tak ingin menjadi satu pihak yang menghancurkan cita-cita baru mereka hanya karena keegoisan perasaannya.

Menarik pintu hingga tertutup rapat lantas menguncinya, Irene menurunkan telapak Yuri dari pundaknya sebelum melontarkan senyum yang tak jauh berbeda dari beberapa menit silam.

"Apaan deh, Kak. Aku gapapa, seriusan deh."

"Yakin?"

Barangkali Irene hanya merasa bila dirinya telah berdusta terlalu jauh, jadilah ketika pertanyaan terakhir diserahkan Yuri, Irene hanya menanggapi lewat anggukan daripada menggunakan kalimat eksplisit.

Irene bahkan menawarkan diri untuk mengemudikan mobil padahal selama ini Ia selalu memaksa Jessica atau Tiffany untuk memegang setir mobil, hanya untuk melampiaskan gejolak di dada nan belum juga hilang semenjak percakapannya dengan Tiffany hari sebelumnya.

Mungkin juga Irene hanya ingin benar-benar merekam tiap-tiap momen yang terlewati seperti bagaimana Moonbyul secara amat santai menghujat Wendy, Tiffany nan sesekali ikut menertawakan Wheein namun juga terkadang mengulurkan lengan untuk merapikan rambut Joy yang sedikit menutupi wajah halusnya, Rosé nan tak pernah lupa untuk menepukkan tangan ketika Ia berusaha mendapatkan perhatian dari yang lain disusul melemparkan satu topik yang total terlepas dari pembicaraan sebelumnya.

Segalanya masuk ke mata dan telinga Irene sebelum terpahat sempurna di perasaan si mungil tanpa cela.

Detikan yang berlalu menjadi lebih bermakna sampai di titik dimana Irene berspekulasi bila mungkin Ia bisa saja merusak tiap-tiap adegan dengan suaranya; bertahan diam dan menyimak sambil tak bosan mengabadikan segala momen di dasar otaknya.

Sesekali terdapat pertanyaan aneh di kepala Irene seperti misalnya apakah mereka tidak lelah tertawa mengingat Irene telah mendengar gelak mereka mulai dari berangkat hingga di dalam langkah mereka mengelilingi mall saat ini.

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang