#37. Mad

134 17 6
                                        

"It's no better to be safe than sorry."
- Take on Me by Aqualung

≈ H . O . M . E ≈

.
.
.

Mungkin tidak sedikit orang besar mengatakan bahwa pertengkaran di dalam satu ikatan merupakan hal biasa. Irene sendiri mengakui bahwa Ia pun termasuk di kumpulan yang mengategorikan cekcok nan menyelingi pertemanan, merupakan sebuah batu loncatan.

Hanya saja disini, yang mulai Irene sadari ialah bahwa tak satupun dari mereka mengucapkan bila hal tersebut sama sekali tak mengejutkan. Nyatanya pertengakaran serius yang Ia alami, cukup untuk meletakkan keterkejutan dalam dirinya.

Irene percaya perdebatan jelas ada. Ia hanya tak menduga bila Ia akan sungguh berakhir berdiri di sela luas antara ruang tengah dan dapur, berhadapan dengan salah satu manusia nan Ia lihat-lihat telah lebih banyak mengunci mulut beberapa hari terakhir.

Lucu.

Atau konyol? Mungkin.

Berawal dari pembicaraan ringan mengenai Moonbyul nan mulai mengoceh tentang karya tulis dalam dunia online yang mereka kerjakan bersama sebagai sebuah kolaborasi dalam sebuah grup, serta niatnya untuk keluar dari lingkar nan Ia buat sendiri diawal, lantas berakhir beralih fokus pada perbedaan yang terkandung dalam pendapatnya dan Irene.

"Aku nggak mikir kesana sih, Kak. Aku malah bangga kalo ada dari mereka yang bikin karya lebih tinggi. Aku cuma ngerasa grup kolaborasi ini tu cuma tersudut ke satu arah padahal kalo dari yang aku liat, mereka pengen nge-eksplore banyak hal."

Dari titik ini, Irene sesungguhnya telah mendeteksi sebuah sensasi cubitan di relungnya; seolah personanya pun disudutkan mengingat 5 menit lalu, Irene-lah yang pertama berpendapat bahwa tidak adanya kemajuan dalam kelompok tersebut dikarenakan oleh kesadaran bila mereka tidak berada di level yang sama. Beberapa sudah meningkatkan kinerja mereka menjadi sesuatu yang lebih 'besar' sementara yang lain seakan masih lari di tempat.

"Well, itu pendapatku aja sih. Kalo kamu tetep mau keluar dari grupnya juga gapapa."

Spontan. Reflek pembelaan diri yang memang akan muncul pada diri kebanyakan orang ketika mereka terpojokkan.

Itulah yang tengah dilancarkan Irene saat ini; berusaha lepas dari rasa bersalah serta disalahkan nan menyerbu dasar otaknya secara bersamaan.

Mendadak, Irene sekedar ingin percakapan mereka segera tuntas atau paling tidak, teralihkan.

"Aku nggak nyalahin pandanganmu, Kak."

Lantas bertepatan dengan Irene yang meletakkan gelas rampingnya diatas counter dapur, suara Moonbyul yang terdengar persis seperti dirinya -seakan disudutkan- pun mengundang emosi Irene untuk naik ke puncak ubun-ubunnya.

Irene menangkap maksud Moonbyul seolah perempuan yang lebih muda itu menganggapnya seperti sebuah tissue yang akan langsung robek hanya dengan satu sentuhan dan Irene benci itu.

Irene benci dianggap rapuh walau kenyataan menunjukkan secara gamblang mengenai kerentanan hatinya.

Ia kehilangan kontrol yang Ia coba jaga semenjak kembali ke rumah ini.

Irene telah merasakan kekangan sejak awal kakinya balik menapak lagi di lantai dingin rumah besar bercat putih tempat Ia menghabiskan hampir separuh waktunya bersama delapan perempuan lain; satu rantai yang Ia ikatkan sendiri di lehernya supaya tidak lagi-lagi membuat kesalahan.

Namun agaknya rantai tersebut pulalah yang membuatnya merasa seperti terdapat bendungan nan menahan seluruh emosinya. Dan ketika benteng tersebut runtuh, seluruh tampungan di baliknya mengalir deras tanpa penahan.

"Emangnya aku bilang "Ya kamu nggak perlu nyalahin pandanganku!", Gitu? Engga kan? Aku nggak nyalahin siapa siapa, Byul! I was just saying kalo pendapatmu tu certainly different dari punyaku. That's it!!!"

Irene kira Ia bisa menyudahi tension diantara mereka dengan meledakkan seluruh perasaannya pada sosok di hadapan. Namun ketika Moonbyul kembali berucap, nyatanya Irene malah merasa semakin ditampar; diingatkan bila Ia yang memulainya lebih dulu dan tidak akan berakhir jika Ia tak sungguh-sungguh menjabarkannya.

"Aku cuma mengantisipasi kalo mungkin aja merasa disalahin. Maaf kalo terlalu mendahului."

"OKAY, STOP WITH SORRY!!"

Mungkin tumpahan emosi yang sudah tersimpan selama beberapa hari telah mengambil alih akal sehat Irene sehingga Ia lebih memilih menyemburkan api di dadanya daripada mencerna apa yang coba Moonbyul sampaikan.

Sebab faktanya, usai teriakan berhasil Irene lancarkan, sebuah pemahaman baru tiba-tiba balik menginvasi kepalanya.

Nyatanya, Moonbyul benar sepenuhnya.

Ia merasa disalahkan. Itu juga yang mengundangnya untuk membela diri sejak awal, bukan?

Namun titik menyakitkannya ialah karena Irene harus berusaha sekuat mungkin untuk menahan rasa bersalahnya supaya tidak membuat ulah, di detik suara Tiffany berdengung di dalam otaknya.

Tarikan nafas panjangnya menjadi bukti lain bila Ia tengah mencoba mengumpulkan kontrol diri sebelum dapat -tanpa goyah- menyorotkan matanya pada netra gelap Moonbyul.

"Listen. Kemaren Kak Tiff omelin aku habis-habisan karena aku selalu bilang maaf, like... all the time dan akhirnya bikin kalian segan buat sekedar nanggepin aku kalo ada sesuatu. Now, I try not to. And you should too! Karena kalo kamu ngerasa bersalah sama aku, I will definitely feel the same."

"Oke, aku nggak gitu."

"Oke, bagus."

Beberapa detik berlalu dan yang kedua perempuan tersebut lakukan hanyalah menatap satu sama lain tepat di mata; meminta kepastian pada sang partner bicara mengenai apakah mereka sudah baik-baik saja tentang semua ini.

Lantas dimulai dengan anggukan samar Irene, yang lebih tua pun tahu bahwa mereka sudah mengklarifikasi satu sama lain secara diam-diam.

"Dah, sini! Bantuin bikin jus jambu. Air putihnya hambar, ku nggak suka."

Yeah, they're good.

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

Ribet banget si Rene tapi beneran ngakak sih ini :v

Regards
- C

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang