#10. Control

223 32 4
                                    

Oke jadi di cerita ini aku jarang banget naruh note di awal biar kalian fokus ke quote dan nggak mikirin ceritaku. But this time I feel guilty about something. Kalo ada yang merasa relate ato merasa cerita ini kayak "wow, ini aku.", I personally say sorry. Really, really sorry.

.

"Can't I just lose myself for a fucking second?"

≈ H . O . M . E ≈

.
.
.

Kontrol.

Satu kata yang sering keluar dari para dewasa. Sesuatu yang katanya harus dikuasai, dijaga, dan dijadikan perlindungan dengan kaum muda berada di bawahnya.

Jelas sekali tidak pernah berpikir bahwa substansi tersebut lebih sulit untuk dipegang dari yang dibayangkan.

Jelas kontrol bukanlah sebuat situasi dimana kaki menghentak akibat amarah; dimana sebuah pintu bernuansa putih meredam bunyi gebrakan berulang dibaliknya; dimana teriakan terdengar lebih dari dua kali dan tentu saja bukanlah sebuah situasi dimana terdapat pekikan bergetar nan tampak seperti tengah menangis.

Kontrol hanyalah fantasi.

Itu sungguh-sungguh hanya sebuah khayalan.

Karena nyatanya 7 perempuan yang berdiri di depan satu ruangan di lantai dua, merenung akan langkah selanjutnya pun, tak bisa menemukan jawaban akan bagaimana mengambil kontrol akan kerisuhan yang terjadi.

Lantas ketika tanda-tanda kekacauan telah berhenti, satu perempuan mungil keluar dari salah satu kamar dan dengan santainya membuka papan nan sedari tadi menjadi bahan kontemplasi para penghuni; hanya menemukan seseorang menumpu kedua tangan diatas meja, membelakangi tamunya.

Tangan bergetar, bahu berguncang, isakan memilukan. Dan segala kemirisan harus ditambah dengan keadaan ruangan yang sudah tak bisa didefinisikan.

Buku berserakan, vas pecah, pensil patah, kursi tergeletak. Segalanya terletak di tempat yang tak seharusnya.

Mungkin semua orang terlalu bimbang dengan benar salahnya keputusan mereka. Tapi tidak dengan Irene yang sudah paham bahwa tidak terdapat satupun manusia yang sepenuhnya mampu memiliki kontrol diri sepanjang waktu.

Satu sentuhan di bahu cukup untuk meluruhkan seluruh kelelahan fisik hingga perempuan di depannya terjatuh ke lantai, melanjutkan tangisan dengan lebih intens; mencoba melepaskan ganjalan di dada.

"Aku udah nyoba sebisaku, Kak!! Kenapa aku tetep nggak bisa bikin diriku  pantas di depan mata orang tuaku?! Aku udah nyoba!!! Aku belajar berbulan-bulan, aku ambil semua les, aku daftar semua tes. Isn't that enough?! But I'm just so fucking stupid sampe nggak diterima dimana-mana!!"

Sesungguhnya Irene ketakutan. Bukan karena perempuan berambut sebahu didepannya mungkin saja menyakiti Irene secara tak sengaja, namun karena Irene melihat bayangan dirinya sendiri disana.

Penuh dengan kebencian akan ketidaksempurnaan diri.

"Keluarin semua, Wen. Keluarin semuanya."

"Aku sebego itu, Kak!! Aku yang terbodoh di keluarga aku. Kenapa aku nggak bisa kayak papaku yang punya gelar doktor? Kenapa aku nggak bisa kayak mamaku yang lulus di universitas terbaik sebagai mahasiswi terbaik?! Kenapa aku nggak bisa kayak adekku yang selalu ada di peringkat tiga teratas?! Kenapa aku.... kenapa aku secacat itu?!!!"

Irene sama sekali tidak memperdulikan dengan bunyi langkah kaki dari orang-orang di belakangnya yang mulai berani untuk masuk lebih jauh meskipun sangat kentara kecemasan di wajah masing-masing dari mereka.

Irene juga tak peduli akan fakta bahwa dirinya masih berada dalam posisi berdiri sementara Wendy hampir jatuh meringkuk jika bukan karena Wheein yang memeluknya dari samping.

Irene bahkan tak peduli bahwa dirinya mulai mengambil dua langkah ke belakang usai 7 orang lain mengelilingi Wendy dengan kepedulian.

Irene sungguh tak peduli.

Karena yang Ia lihat bukanlah kemirisan. Ia menangkap kilatan ketakutan di mata Wendy. Ketakutan bila Ia akan berakhir menjadi tak berguna; ketakutan bila Ia mengecewakan kedua orang tuanya untuk seterusnya; ketakutan bila Ia tak akan berhasil di masa depan.

Anak itu hanya takut.

Dan sensasi panas dari amarah yang perlahan terbangun di dasar dirinya mulai merambat ke permukaan nan coba Irene redam lewat aksi mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya; sepenuhnya bertanya-tanya mengapa Wendy bisa meremehkan dirinya sejauh itu karena tidak masuk dalam list peserta lolos di kampus tujuannya.

Sebab dengan itu, Irene merasa rendah akan dirinya sendiri.

Dia udah sebagus itu tapi masih meragukan diri sendiri?

Dia seseorang yang udah kerja keras siang malam tapi mencela usahanya sendiri?

Terus aku gimana? Gimana sama aku yang selalu menunda untuk jadi lebih baik?

Gimana sama aku yang selalu mengundur waktu untuk memperbaiki diri?

Kalo dia jelek? Terus apa itu berarti aku hina?

Setengah diri Irene merasa Ia perlu mengumpulkan kewarasan demi memberikan ketenangan pada hati Wendy yang melawan kontrolnya. Tapi sisi yang paling dalam dari sanubari Irene membisikkan sebuah emosi menggebu; memunculkan satu rasa diolok-olok disaat yang dilakukan Wendy hanyalah melampiaskan beban bersarang.

Lantas Irene lebih memilih untuk menutupnya. Tanpa pertimbangan yang lebih jauh Ia secara impulsif berkomentar,

"Coba ubah pertanyaannya jadi, kenapa kamu nggak bisa meng–appreciate effortmu sendiri?"

—lantas melangkah cepat meninggalkan beberapa orang yang mendukungnya namun juga menentang kegamblangan dalam nada bicaranya.

Barangkali Ia pun hanya cukup lelah dengan dirinya sendiri.

.
.
.

≈ H . O . M . E ≈

Sorry, This isn't fucking relate!!
Geez, I'm getting worse at reading people's personalities!!

Regards
- E

Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang