BAB : 4. Si Bayi.

1K 192 42
                                    

Menjadi anak kesayangan mungkin terdengar sangat menyenangkan, mendapat kasih sayang yang full dari kedua orang tua. Terlebih jika anak tunggal.

Kemana saja di antar, mau apa saja di turuti, selalu menjadi prioritas itu pasti.

Tak ada yang kurang bagi Zweitson. Semua nya lengkap, hanya … yah, terkadang ia merasa kesepian tanpa seorang kakak atau pun adik.

Bahkan ia selalu merasa iri mendengar teman-teman nya yang bercerita tentang saudara mereka. Ingin sekali Zweitson pun merasakan hal itu.

"Son, inget yah jangan kebanyakan makan sembarangan. Bekel nya jangan lupa di makan okeh?" Mami Soni memberi wejangan sebelum Zweitson memasuki sekolahnya.

"Iyah Mi ... nanti Soni makan kok."

"Okeh kalo gitu, mami pulang. Belajar yang bener yah sayang, jangan nakal-nakal," peringat Maminya lagi sambil mengecup seluruh wajah putranya itu secara bertahap.

"Mi ... udah," Zweitson merasa tidak nyaman karena Maminya memperlakukan dirinya bak bayi.

Mami nya tersenyum menampaki wajah putranya yang cemberut.

"Yaudah Papih sama Mami pulang dulu yah ... dah sayang," ujarnya memberi salam perpisahan.

"Dah Mi ... Pih ..." jawab Zweitson dengan melambaikan tangan kirinya, karena tangan kanannya penuh dengan bekal yang Maminya buat.

Begitulah rutinitas pagi seorang Zweitson.

Karena ia adalah anak tunggal makanya mami dan papinya ingin yang terbaik untuk dia.

"Eh anak mami, dapet kecupan berapa kali hari ini? Haha." Fiki yang tiba-tiba muncul mengejutkan Zweitson.

"Rese lo!"

"Hahah di bawain bekel nih?"

"Seperti biasa."

"Asiiikkk makan enak." Fiki berujar lagi lalu tertawa.

"Bareng deh ke dalem yuk, " ujar Zweitson menaiki motor Fiki tanpa se perizinan si empunya.

"Weh main naik-naik ajah, goceng yah ... " canda Fiki.

"Najis, dari sini ke parkiran sono doang goceng, mending buat beli cilok mang Odi dapet sepuluh," timpal Soni yang di tanggapi kekehan renyah Fiki.

Kedua nya kini memasuki gerbang sekolah bersamaan.

"Gue iri deh sama lo yang bisa se di sayang itu sama mami papi lo." Fiki berujar setelah ia baru saja memarkirkan motornya.

"Gak usah ngeledek."

"Dih gue serius. Coba lo jadi gue, jangankan di anterin dan di siapin bekel kaya gitu, setiap pagi nih yah yang ada gue yang ngeladenin adek gue, cape deh."

Zweitson masih memperhatikan Fiki yang bercerita.

"Bayangin ajah, pagi-pagi gue di suruh bantuin adik gue cari kaos kaki. Gue mah ogah, entar telat dong gue masuk kelas, makanya gue lari."

"Lagian adik gue yang teledor, kenapa jadi gue yang susah."

"Belum lagi yah kalo si Ghina nangis minta sarapan dan mama masih ngurusin Ami. Pusing dah tuh kepala gue, rame mulu tiap pagi. Pasti mama bilang gini 'bang ... adik nya di bantu dong ini, mama repot kan kalo harus ngurus dua-duanya gini' haduhhh pecah kepala gue," putus Fiki.

Zweitson hanya terkekeh renyah.

Mungkin Fiki merasa ingin seperti dirinya karena Fiki tak pernah menjadi dirinya. Dan yah sama seperti Zweitson yang malah ingin menjadi Fiki.

Suatu Hari Nanti || UN1TY [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang