P R O L O G

42.5K 2.6K 95
                                    

Kepulan asap tebal dari sebatang rokok, yang kini berada dihimpitan jemari terlihat mengepul. Membumbung tinggi, menyatu padu dengan udara yang berembus malam ini. Di jalanan lengang ibukota, sebuah mobil BMW hitam bergerak pelan membelah jalanan. Kaca jendela mobil terbuka, tepatnya kaca mobil di posisi pengemudi. Tampak tangan seorang pemuda mengintip disana. Memegangi sebatang rokok, yang kini tinggal setengah.

"Semua gara-gara Alea, sialan!" Pemuda itu mengumpat. Menyesap rokoknya, lalu membuangnya ke jalanan dengan sembarang.

Raut wajahnya tampak kesal. Mata biru gelap, segelap lautan dalam miliknya semakin menggelap karena kekesalan sudah sampai ke puncak ubun-ubun.

"ALEA BANGSAT! GARA-GARA DIA, GUE KALAH TARUHAN!" Memukul stir kemudi, pemuda dengan tinggi badan 180 sentimeter itu menancap gas.

Jarum kecepatan sudah bergerak melebihi angka 70. Matanya bergerak awas ke depan, hingga saat melewati pohon besar, pemuda itu tiba-tiba mengerem mendadak.

Citttt ....

Suara pergesekan ban mobil dengan legamnya aspal hitam, tampak berdecit nyaring. Tubuh pemuda itu terbanting ke depan. Untung saja, ia bisa menahan tubuhnya. Jika tidak? Mungkin saja, dada atau kepalanya bisa menubruk stir kemudi.

"Shit, apaan tuh?!" Sedikit terkejut, pemuda itu memutuskan turun dari mobil setelah sebelumnya melepas sabuk pengaman.

Sepatu air Jordan yang dikenakan oleh kaki jenjangnya itu sudah menapak di atas aspal.
Perlahan, namun pasti, ia melangkah. Sempat terbesit rasa takut, pasalnya sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 23.36 dan ia harus mengalami hal janggal.

Namun, matanya tak mungkin salah. Tadi ia melihat jelas, ada yang menyebrang.

Deg!

Jantungnya berdentum, bersamaan dengan itu langkah kakinya terhenti. Satu tangan kekarnya menyentuh kap mobil.

"Tu-yul?" Perkataannya terbata, keringat dingin sudah mengucur deras.

Yang disebut tuyul itu berdiri, setelah lamanya ia berjongkok sambil memeluk lututnya.

"Halo Daddy." Bocah laki-laki berumur sekitar 4 tahun itu menyapa pemuda jangkung di depannya.

"H-ah?" Pemuda itu berjengit bingung. "Lo tuyul??"

Bocah laki-laki itu menggeleng. "Namatu Karang."

"Manusia jadi-jadian? Jelmaan terumbu Karang, gitu?" Pemuda itu mundur, ia ketakutan. Bulu kuduk sudah berdiri sekarang.

Walaupun, penampilan bocah laki-laki itu tak menyeramkan, namun tetap saja pemuda itu takut. Pasalnya, jalanan sepi dan tak ada siapapun di tempat ini selain keduanya.

"Daddy, bawa atu pulang!" Bocah itu berlari kecil, dan hap! Ia memeluk kaki pemuda itu erat.

Tubuh pemuda itu bergetar, matanya sudah memelotot tanpa berkedip.

"Daddy bawa atu pulang." Bocah itu mendongak, menunjukkan puppy eyes-nya dengan menggemaskan.

Ini beneran bocah, atau tuyul sih, anjir? Apes banget hari ini gue. Udah kalah taruhan, sekarang ketemu makhluk jadi-jadian, sial.

"Daddy ..." Suara bocah itu bergetar. "Bawa atu pulang, atu tatut dicini. Dingin." Tak bisa bohong, sorot matanya memancarkan ketakutan. Dinginnya jemari mungilnya menegaskan, bahwa benar ia kedinginan.

Pemuda itu meneguk ludah, memberanikan dirinya sebisa mungkin. Berjongkok, mensejajarkan tinggi badannya dengan bocah di hadapannya, pemuda itu memegangi kepala, pundak, tangan, serta kaki bocah bernama Karang itu.

Nyata. Pemuda itu bisa merasakannya, berarti dia bukan tuyul?

"Daddy, bawa atu pulang."

"Dedi, Dedi, nama gue Atlantik!"

Atlantik Bratadika Negara, begitulah nama yang tersemat di jaketnya. Tulisan nama yang dicetak bordir tebal sebagai pengenal identitasnya.

"Bawa aku pulang, Dad," mohon bocah laki-laki itu.

"Lo siapa sih?" tanya Atlantik sedikit sewot. Ia tak suka anak kecil, apalagi anak kecil laki-laki. Nakal.

"Nama atu Karang, mommy pelgi telus ndak balik lagi, aku cendiri disini," jawab bocah itu cadel-cadel menggemaskan.

"Bodo amat, gue kagak peduli." Atlantik berbalik badan, melangkah tak acuh berusaha pergi.

Namun, Karang berlari dan menghadangnya.
"Daddy, atu mohon, bawa atu pulang. Atu takut," lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Sial, gue harus apa ini?" Atlantik mengacak rambutnya, sambil sesekali menjambaknya. Bawa pulang aja apa, ya?

Tidak, tidak, Atlantik tak mau membawa bocah ini pulang. Ia anti anak kecil, ingat itu. Tapi, kenapa rasanya melihat bocah di depannya hendak menangis, hatinya jadi tergerak ingin membawa pulang?

"Atu takut ..." Bocah itu kembali memeluk kedua kaki Atlantik. Pundak mungilnya bergetar, menandakan bahwa benar ia ketakutan.

Tak tega lagi, akhirnya benteng pertahanan Atlantik runtuh. Tak tega membuang, akhirnya ia memutuskan untuk membawa bocah itu pulang.

"Oke, gue bakal bawa lo pulang," putusnya, final.

"Telima kasih Daddy," ucap bocah itu senang.

"Nama gue Atlantik Bratadika Negara, bukan Daddy!" koreksi sang pemilik nama jengah. Bocah kecil hanya itu hanya mengulas senyum polos.

Sekali lagi, namanya adalah Atlantik Bratadika Negara, dan ini, awal ceritanya ....

ATLANTIK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang