"Daddy!"
Baru saja Atlantik memasuki apartemen, ia sudah disambut dengan teriakan riang dari Karang. Bocah itu berlari ke arah Atlantik, dan memeluknya. Lidah Atlantik berdecak tak suka, ujung lidahnya sudah menahan segala umpatan. Risih sekali rasanya.
"Daddy, habis cekolah ya?" Karang menengadah, tanpa melepas pelukan tangannya di paha Atlantik.
"Ya." Singkat, dan begitu dingin, hanya itu yang bisa Atlantik lontarkan.
"Atu takut tau dicini sendili, untungnya Mommy kasih atu mainan," adu Karang, memperlihatkan sebuah rubik di tangannya.
Atlantik mendelik, saat tahu bahwa rubik di tangan Karang adalah rubik miliknya. Lebih tepatnya, rubik kesayangannya. Buru-buru, Atlantik merampasnya dari jemari mungil Karang.
"Siapa yang kasih ini ke lo, hah?" tanya Atlantik dengan sorot mata berkobar.
Sorot mata Karang berkaca-kaca, ia tahu bahwa pemuda jangkung di hadapannya ini tengah marah.
"Da-li Mommy," jawab Karang bergetar.
"Mommy?" Satu alis Atlantik terangkat, bingung dengan ucapan Karang. "Siapa Mommy?" imbuhnya lagi.
"Itu Mommy!" Karang tiba-tiba menunjuk ke arah pintu, dimana ada seorang gadis yang baru saja masuk.
"Alea?" Atlantik berucap tak habis pikir, kenapa bisa Karang menyebutnya Mommy. Padahal jelas-jelas, peran Alea disini hanyalah pembantu.
"Mommy!" teriak Karang, berlari ke arah Alea dan memeluknya.
Alea menyambut bocah itu dengan hangat, berjongkok agar tinggi badannya sejajar dengan Karang. Entah kenapa, baru saja bertemu dengan Karang, Alea sudah sangat menyayanginya.
Melerai pelukannya, Alea beralih menangkup wajah mungil Karang. "Kamu nggak nakal, 'kan? Nurut apa kata mommy, 'kan?"
"Iya dong. Aku ndak nakal," ucap Karang dengan begitu menggemaskan.
"Pinter." Alea menjawil hidung mancung bocah itu gemas.
"Alea, gue mau bicara sama lo." Atlantik menyahut dingin, sambil melenggang ke arah balkon apartemen.
Alea hanya mengangguk, walaupun ia tahu Atlantik tak akan melihatnya karena posisi pemuda itu saja membelakanginya.
"Karang, kamu diem dulu ya disini. Mommy mau samperin Dad—Atlantik." Alea mengubah sebutannya dengan gelagapan, ia merasa tak pantas akan itu.
"Atlantik itu ... Daddy ya, Mom??" tanya Karang sambil mengerjap polos.
"Iya sayang. Tunggu ya, kamu duduk di sofa dulu sana."
"Oke Mom!" Karang menurut, Alea pun langsung beranjak menghampiri Atlantik.
Pelan, Alea berdiri di samping pemuda yang kini tengah merokok. Kebungkaman, seketika terjadi, bukan hal aneh rasanya. Baik Atlantik dan Alea, jarang mau memulai pembicaraan. Mereka memilih diam dulu, terlebih Alea.
"Ada apa, At? Kamu mau bicara apa?" Alea yang paling pertama membuka suara. Ia tahu, dan khatam, bahwa Atlantik diam terus itu tandanya dia tak mau memulai pembicaraan paling awal.
Maka dari itu, Alea harus peka dan menurunkan sedikit rasa takut untuk memulai pembicaraan paling awal.
Atlantik menoleh, sambil mengepulkan asap rokoknya pada Alea. Seolah sengaja, membiarkan Alea jadi perokok pasif. Bukan sekali, atau dua kali, Atlantik mengepulkan asap rokoknya tepat ke wajah Alea.
Sekuat apapun Alea menahan napas, agar tak menghirup asap itu, tetap saja, sedikit demi sedikit pasti ada saja kepulan asap yang berhasil masuk.
"Kenapa lo kasih rubik kesayangan gue, ke Karang? Hah?" Sorot mata Atlantik menajam, begitu mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLANTIK [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Daddy, bawa atu pulang ...." "Dedi, Dedi, nama gue Atlantik!" *** Atlantik Bratadika Negara. Pemuda dengan bentuk pahatan mendekati kata sempurna. Ketua Geng motor bernama ARVENSIS yang disegani banyak orang. Di...