"Gue udah baik-baik aja, Na. Gak perlu nangis terus, nanti mata lo makin sembap,"
"Sumpah deh, Na. Lo jelek kalau nangis,"
"Udah, jangan nangis ya. Gue baik-baik aja, kok." Skala berucap beruntun, tak membiarkan Alana membuka mulut. Pemuda itu mengusap air mata yang terus saja turun tanpa bisa dicegah Alana.
"Hiks, Skal pulang dong. Ayo sekolah lagi, ayo ...."
"Iya Na, gue bakal pulang kok, dan secepatnya bakal sekolah. Jangan nangis terus ya." Skala merangkum wajah Alana, seraya mengusapnya lembut.
"Atlantik jahat, dia bikin Skalanya Alana sakit. Aku benci Atlantik, hiks ... Skal cepet sembuh, lawan Atlantik, biar dia ngerasain apa yang Skal rasain juga," ucap Alana sesenggukan.
Skala jadi gemas pada gadis di hadapannya ini. Ia menggusak rambut Alana, lalu mencubit pipinya.
"Lo pulang sana, ini udah malem. Kasian ayah sama bunda lo, nunggu di luar. Sana!"
"Skal ngusir?" lirih Alana.
"Nggak Na, gue cuma nyuruh," sanggah Skala.
"Yaudah, aku pulang ya Skal. Besok, pas pulang sekolah, aku kesini lagi," kata Alana beranjak bangkit dari posisinya yang duduk di bibir bangsal.
"Hati-hati, Na. Semangat belajarnya ya, nanti gue liat tugas oke?"
"Oke Skal." Alana tersenyum manis. Namun matanya sembap, menandakan senyuman manisnya itu hanyalah tipuan semata.
Pada dasarnya, Alana sangat terpukul atas musibah yang menimpa Skala. Lebih naasnya lagi, musibah itu terjadi di hadapan matanya sendiri.
"Kalau besok mau kesini, ajak Alea ya?" pinta Skala dengan binaran penuh harap.
Seketika senyuman manis di bibir Alana pudar. "Alea?"
"Iya, Alea. Ajak dia, oke?"
Diam beberapa detik lamanya, Alana lalu mengangguk mengiyakan ucapan Skala. Seketika, banyaknya pertanyaan muncul di kepalanya. Kenapa Skala pengen aku ajak, Alea?
"Aku pamit, babay!" Alana berangsur mundur, berbalik badan dan berlari pergi. Meninggalkan Skala sendiri di ruang rawat inapnya.
30 menit kemudian ....
Pintu ruangan Skala terbuka, membuat penghuni di dalamnya melemparkan pandang ke sana. Skala pikir, yang datang adalah suster, tapi ternyata yang datang adalah Arham---papahnya.
Pria setengah baya itu melangkah, mendekati bangsal Skala sambil membawa beberapa lembar kertas. Sedetik kakinya sampai tepat di hadapan bangsal, Arham langsung melemparkan beberapa lembar itu ke wajah Skala.
"Anak gak berguna!" Sumpah serapah itu keluar dari mulut Arham, sebagai pembuka.
"Lagi dan lagi, Skala! Nilai kamu dibawah Alana! Bikin malu!"
Skala merunduk, memungut kertas yang berserakan di hadapannya. Sebuah kertas ulangan harian, matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
"Kenapa Skala?! Kenapa kamu harus dapet nilai 8,5?! Kamu tau? Alana dapat 9 dari ketiga pelajaran itu!" bentak Arham menggebu. Menunjuk-nunjuk Skala bengis.
"Maafin Skal, Pah. Skala bakal belajar lagi, biar bisa dapat nilai 9, sama kayak Alana," ujar Skala pelan.
"Jangan hanya 9!" Arham menoyor kepala Skala keras. "Harus dapat nilai 10! Nilai sempurna, supaya kamu bisa sukses!"
Skala mengepalkan tangannya kuat-kuat. Muak rasanya, jika Arham selalu menekannya mendapatkan nilai sempurna. Skala tak habis pikir, dengan pola pikir Arham, yang selalu menganggap nilai 10 adalah kunci kesuksesan. Arham selalu mematok angka untuk sukses, padahal tidak semua nilai bisa menjamin kesuksesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLANTIK [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Daddy, bawa atu pulang ...." "Dedi, Dedi, nama gue Atlantik!" *** Atlantik Bratadika Negara. Pemuda dengan bentuk pahatan mendekati kata sempurna. Ketua Geng motor bernama ARVENSIS yang disegani banyak orang. Di...