30. UNTUK KARANG

8.7K 1K 88
                                    

Alea membuka mata saat dirasa cahaya matahari mengganggu kornea. Ia bangun, seraya menoleh ke samping tepat di sofa. Sedikit terkejut melihat Atlantik tertidur pulas disana.

Sejak kapan Atlantik datang? Bahkan, Alea pun tak tahu.

Bergegas, Alea bangkit sambil membawa selimut yang habis dikenakannya. Berjalan pelan, lalu berjongkok di samping sofa, membungkus tubuh Atlantik dengan selimut yang dibawa.

"Aku pikir, kamu nggak akan datang kesini. Ternyata aku salah, At. Kamu datang, walaupun aku gak tau, kapan kedatangan kamu." Suara serak-serak khas bangun tidur Alea, sukses membuat Atlantik mengerjap.

Sadar bahwa pemuda itu hendak bangun dari tidurnya, Alea langsung berdiri. Berbalik badan, berusaha pergi namun ... entah sejak kapan tangan Atlantik hinggap menahan lengannya.

"Gue gak mungkin nelantarin Karang." Suara santai Atlantik, mampu membuat sekujur tubuh Alea menegang. Sialnya, ternyata Atlantik sudah bangun.

Jadi, dia mendengar perkataan Alea tadi sekaligus merasakan dan sadar bahwa Alea habis menyelimuti tubuhnya.

Atlantik beranjak dari posisi, melangkah lebar dan berdiri di depan Alea kini. Tanpa melepaskan cekalannya yang lambat laun menyakiti, karena Atlantik mencengkramnya kuat tak punya hati.

"Lo boleh marah sama gue, karena gue tau ... kemarin gue salah. Gue juga mikirin Karang mati-matian, tapi gue bingung di satu sisi Alana butuh gue. Dan gue harap, lo ngerti itu Le," ujar Atlantik.

Alea menunduk sebentar, lalu mengangkat pandang. "Aku ngerti At. Aku mengerti, kalau memang dunia kamu kemarin hanya berputar untuk Alana. Aku yang salah, karena terlalu berharap, kamu akan pilih aku dan Karang, dibandingkan Alana." Ia menunduk lagi, melepaskan cekalan Atlantik pelan. Namun Atlantik tersentak karena Alea mulai berontak.

"Seharusnya, kamu nggak perlu kesini. Demamnya Karang udah turun dari semalem, harusnya kamu sama Alana aja," imbuhnya.

"Lo beneran marah?"

Alea mendecak, mengangkat pandangan untuk kedua kalinya. "Emangnya kalau aku marah, kamu peduli?"

"Dari dulu siklus hidup kita emang gini, 'kan? Kamu buat kesalahan, aku marah, terus kamu minta maaf sama aku, terus aku maafin kamu. Selesai itu? Kamu ulangi lagi, lagi dan lagi, At. Lama-lama aku mikir, kamu beneran manusia yang punya hati atau nggak sih?"

Bungkam. Atlantik bungkam dengan perkataan Alea.

"Perasaan, kemarin kamu bilang cinta sama aku, kemarin kamu merasa nyesel, kemarin juga kamu bilang, untuk suruh aku agar nggak pergi. Tapi kenyataannya apa? Semua kata-kata kamu kemarin, hanya kalimat penenang, 'kan? Kamu rayu aku, biar aku nggak pergi. Iya, 'kan?!"

"Kamu pernah gak sih, At? Mikirin aku, mikirin perasaan aku untuk sekali aja. Pernah, gak?!"

"Gue selalu mikirin lo, Le. Serius," balas Atlantik.

"Mikirin aku? Selalu? Oh iya, kemarin kemana kamu, hah? Aku ujan-ujannan ke rumah sakit, demi susulin kamu, tapi kamu malah usir aku, kamu tendang aku, kamu bentak aku. Itu yang disebut mikirin?" Mata Alea memanas, hidungnya memerah tomat. "Gak usah nikahin aku At, gak usah miliki aku seutuhnya, aku capek!"

Atlantik menggeleng lemah.

"Le, kenapa lo berubah jadi kayak gini?" tanyanya tak habis pikir.

"Bukan aku yang berubah, tapi sikap kamu yang bikin aku berubah kayak gini, At," tandas  Alea.

"Aku capek, sumpah demi Tuhan aku capek kayak gini." Lelah benar begitu adanya di wajah Alea. Gadis itu menyeka air matanya yang hendak jatuh. "Pergi dari sini, At. Aku mohon, aku muak liat muka kamu, pergi aku mohon." Alea mendorong-dorong tubuh Atlantik kasar.

ATLANTIK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang