28. UNGKAP

10.6K 1.2K 43
                                    

16.30 Apartemen Atlantik.

Atlantik duduk termenung di tepian balkon. Senja yang menyapa di ufuk timur bahkan tak menarik perhatiannya. Tatapan matanya kini kosong. Puntung rokok yang terus mengepulkan asap, ia anggurkan begitu saja di himpitan jemari.

"Lo dimana Alea? Lo baik-baik aja, 'kan?" Atlantik bergumam serak.

Tring!

Atlantik melemparkan pandangannya ke samping bawah, melihat ponselnya didatangi notif pesan. Dengan lemah tak berdaya, Atlantik meraih benda mahal itu. Melihat notifikasi pesan yang masuk dan ...

Membelalak seketika sesaat rampung membacanya.

Samudra: At, Alea meninggal. Ayo kesini, ke rumah sakit citra medika.

"Nggak mungkin." Atlantik menggeleng kuat, bangun berdiri melemparkan puntung rokoknya sembarangan. Dengan dada bergemuruh panas, Atlantik berlari kelimpungan tanpa alas. Bahkan, ia menginjak dengan entengnya pecahan cermin yang berceceran di lantai.

***

Brak!

Alana membuang semua benda yang berhubungan dengan Skala ke dalam tong sampah. Dari pulang sekolah, sampai sekarang ia tak henti-hentinya menitihkan air mata. Tanpa Alana tanya pun, ia sudah menduga ... bahwa Skala, menyukai Alea.

Harusnya Alana sadar diri, bahwa sampai kapanpun Skala tak akan bisa mencintai dirinya. Karena sampai kapanpun, Skala akan menganggap, sahabat. Selamanya akan begitu.

"Kenapa Skal? Kenapa Skal bisa suka sama Alea, sih? Hiks ...," isak Alana. Tubuhnya meluruh hingga kini terduduk lemah di lantai.

Bayang-bayang bagaimana Skala berpelukan mesra dengan Alea terpintas dan itu membuat dada Alana sesak. Ia meremas dadanya yang berdenyut nyeri, tangisannya mulai digantikan dengan ringisan kesakitan.

Satu tangan Alana yang lain, memegangi kepala.

"Akhh ...," Alana menjambak rambutnya kuat. "Bunda!" teriaknya.

Bruk! Alana tak kuasa lagi menopang tubuhnya, ia ambruk dengan darah yang mengalir di hidung dan sakit yang membebat  di kepala dan dadanya.

***

Atlantik berlari dengan perasaan kacau balau. Tak peduli dengan berapa banyaknya atensi orang-orang yang berlalu lalang di sekitaran rumah sakit. Langkah Atlantik terus melebar, menyusuri setiap lorong yang ada, hingga akhirnya langkahnya tertuju mantap pada ruang UGD, dimana sosok Samudra lengkap dengan Skala berada disana.

Skala dan Samudra kompak berdiri, saat Atlantik datang. Bisa dilihat jelas, betapa berantakannya penampilan Atlantik kini. Tangan penuh darah, kaki tidak memakai sendal, rambut acak-acakan, dan wajah yang basah.

Dengan mata yang bergerak tak beraturan, Atlantik langsung menarik kerah seragam Skala kasar. "DIMANA ALEA?!"

Skala diam dengan air muka muramnya.

"DIMANA ALEA BANGSAT?!" pekik Atlantik.

"At, kendalikan diri lo," tegur Samudra menarik tubuh Atlantik agar tak berlaku sarkas pada Skala.

Kini Atlantik menatap Skala. "DIMANA ALEA?! DIMANA?!!"

"Di dalem," tunjuk Samudra dengan dagu ke arah pintu UGD.

"Dia masih hidup, 'kan?!" tanya Atlantik setengah marah. Samudra diam. "SAMUDRA DIA MASIH HIDUP, 'KAN?!" Ia mengguncang tubuh sang adik, sambil memekik bak kesetanan.

Skala diam, dengan alis menukik bingung. Atlantik kenapa??

"Bilang sama gue, Sam ... bilang, kalau dia masih hidup!!" Atlantik runtuh bersamaan dengan itu, tangisannya riuh. Ia ambruk bersimpuh lunglai di lantai. "Alea, hiks ... kenapa lo pergi?!"

ATLANTIK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang