27. 14.22

10.6K 1.1K 41
                                    

"ARGHH!!" Atlantik memekik kencang, seraya menonjok cermin kamar mandi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"ARGHH!!" Atlantik memekik kencang, seraya menonjok cermin kamar mandi. Pemuda itu benar-benar ada di level kemarahan tertinggi.

Tak peduli dengan punggung tangannya yang sudah tersayat akibat pecahan cermin tersebut. Atlantik benar-benar hilang kendali saat ini.

"ALEA!!!" Mata Atlantik memerah, wajahnya pun selaras. Merah padam. Atlantik menatap wajahnya di pantulan cermin yang retak, "kenapa gue selalu kayak gini? Kenapa gue terus sakiti Alea? Sebenarnya gue itu kenapa?!!" pekiknya lagi, histeris.

Hingga saat bayang-bayang wajah Alea tengah dicekik olehnya terpintas ... Atlantik langsung tak kuasa menahan tangisannya. Ia menunduk, menatap bibir wastafel dengan air mata yang terus jatuh.

"Gue jahat ... gue udah berusaha bunuh Alea." Suara Atlantik melirih pilu.

Ia menurunkan tangannya yang terkepal di antara pecahan cermin, darah kental berwarna merah pekat mewarnai warna putih bersihnya wastafel.

"Alea ... gue cinta sama lo, Lea." Dada Atlantik rasanya panas, ia menangis tergugu sambil terus merunduk. Seolah sekarang, rasa sakit tengah menghujam punggungnya.

"Gue cinta lo, tapi kenapa gue gak bisa ngomong ini ke lo? Kenapa gue selalu terbayang-bayang Alana, saat berhadapan sama lo, Le?" Suara Atlantik parau, satu tangannya yang tak terluka membuka air kran wastafel. Membiarkan tangannya yang terluka tersiram air.

Perih. Begitulah yang Atlantik rasakan sekarang. Namun sakitnya itu tak sebanding dengan sakit di hatinya. Dengan jelas, Atlantik bisa melihat bagaimana daging punggung tangannya ternganga transparan sekarang.

***

Rumah Sakit Citra Medika.

Skala bergeming setelah mendengar semua rentetan rahasia Alea dan Atlantik, yang bersumber dari Samudra. Hal kebetulan rasanya, Skala bisa satu rumah sakit dengan Samudra. Karena tadi Samudra habis dari kantin rumah sakit, dia tidak sengaja bertemu Skala tengah mendorong brankar dengan beberapa petugas medis.

Yang membuat Samudra tergerak hati untuk menghampiri adalah, ia melihat dengan jelas seseorang yang terbaring di brankar itu adalah sosok Alea.

Setelah Skala menjelaskan apa yang terjadi pada gadis itu. Akhirnya, Samudra buka semua rahasia yang selama ini Alea dan Atlantik rahasiakan dari dunia.

"Atlantik itu tempramental, dia suka melampiaskan kemarahan sama Alea. Pernah satu kali, gue pergoki Alea babak belur di apartemen." Samudra bersuara lagi, pandangannya masih fokus ke depan dengan tenang.

Walaupun dalam hati, ia terus dihantui rasa cemas terhadap Alea.

"Gue bakal bawa Alea pergi dari Atlantik." Skala menoleh pada Samudra. Suaranya memberat, "Gue gak akan biarin Alea terluka lagi tinggal sama si Brengsek itu!"

Samudra menyirangi kecil, lalu menoleh. Berkontak mata langsung dengan Skala. "Pertanyaannya hanya satu, apa bisa? Apa bisa Alea dan Atlantik dipisahkan?"

Skala diam.

"Gue rasa gak akan bisa, Skal. Alea gak akan bisa dan gak akan pernah ninggalin Atlantik. Begitu juga Atlantik," tambahnya.

"Tapi Sam, Alea udah jadi korban toxic-nya Atlantik. Dengan terang-terangan, di sekolah tadi Atlantik bilang kalau dia bunuh Alea, dia cekik Alea!"

"Atlantik pasti punya alasan untuk itu."

Skala berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Alasan? Alasan apa sampai dia berusaha bunuh Alea dengan cara keji kayak gitu?!"

"Kita tanya setelah Alea sadar nanti," ujar Samudra masih tenang.

"Kenapa kita nggak telpon Atlantik aja sekarang?" Skala menatap Samudra kesal.

"Percuma, Atlantik nggak akan angkat, dan kalaupun diangkat dia nggak akan ngomong hal sejujurnya. Jadi, lebih baik kita tunggu Alea."

Skala mendesah jengah, ia memutus kontak mata dengan Samudra dan beralih menatap nanar ruang UGD yang masih setia menutup.

"Dokter, detak jantung pasien tidak terdeteksi," ucap sang suster.

"Kenapa bisa seperti itu? Padahal kita sudah kasih tabung oksigen." Sang dokter mengambil alat kejut jantung.

Monitor EKG yang menunjukkan serangakaian grafik lancip bak gunung, mulai runtuh dan membuat garis lurus secara perlahan.

Sang dokter yang melihat itu, langsung dengan segera melakukan tindakan. Menggosokkan satu sama lain alat kejut jantung di tangan dan ... menempelkannya di dada Alea.

Satu kali percobaan.

Tubuh Alea menggelinjang ke atas, jantungnya masih merespon.

"Beri saya 200," ucap sang dokter pada suster. Agar menambahkan kekuatan pada alat kejut jantungnya.

Kembali menggosokkan alat di tangan, sang dokter mulai kembali menempelkan di dada Alea.

Dua kali percobaan.

Tubuh Alea masih merespon, walaupun lemah. Hingga beberapa detik setelahnya, suara decitan di monitor EKG membuat sang dokter menggeleng berat.

Tiga kali percobaan.

Tubuh Alea tak merespon, dan ...

Tiiitttt!

Grafik yang yang membentuk bak pegunungan lancip itu, perlahan menampilkan garis lurus sepenuhnya hingga ke ujung.

"Waktu kematian pukul 14.22, segera beri kabar keluarganya di luar."

"...."

***

Karang duduk termenung di teras panti asuhan. Sedari tadi, mata bersihnya terus menatap ke arah gerbang yang masih setia menutup.

"Daddy Itik, sama Mommy Lele, kemana ya? Kok ndak jemput atu, sih?" Karang menumpu dagunya dengan dua tangan. Wajahnya mulai muram.

Sadar bahwa sang Surya mulai redup, Karang menengadah ke atas, melihat langit biru lungguh disana.

"Langit, awan, sama matahali, liat Daddy Itik sama Mommy Lele, ndak? Kalau liat, bilang sama meleka, atu tunggu dicini. Atu mau pulang, mau mandi sama Daddy ... mau makan disuapi Mommy." Mata Karang memanas, bulir bening yang mulai jatuh bergantian mulai ia susut dengan tangannya sendiri.

"Daddy Itik ... Mommy Lele, kalian buang atu ya? Atu dibuang lagi? Hiks ...."

***

Kacau balau.

Begitulah, keadaan yang cocok dan pas mendeskripsikan secara singkat apartemen Atlantik sekarang ini. Semuanya berantakan, karena Atlantik habis mengamuk.

Meja belajar rusak, semua buku berceceran. Meja rias juga, cerminnya pecah karena ditonjok Atlantik. Kini, dua tangan Atlantik imbang. Sama-sama terluka. Kasur yang biasanya rapih diselimuti sprei, kini telanjang bulat. Bahkan, semua kapuk bantal dan guling, Atlantik keluarkan hingga kini berceceran dimana-mana.

Jangan tanya bagaimana keadaan Atlantik kini. Seolah sudah gila, dia malah berbaring di atas pecahan cermin. Menatap kosong langit-langit apartemen dalam diam.

"Lo dimana, Le? Ayo pulang, ayo ... gue butuh lo, ayo pulang." Atlantik memejamkan matanya sedih.

Hingga tak lama ia mengerjap, Atlantik mengambil sebuah pecahan cermin yang masih besar, belum remuk. Dengan beraninya, Atlantik menyayat pergelangan tangannya. Bukan bunuh diri.

Tapi menuliskan sesuatu disana. Sambil terus meneteskan air mata, Atlantik membentuk satu persatu huruf hingga membentuk sebuah kata.

ALEA

"Ayo pulang, Alea! AYO PULANG BANGSAT!!!" Atlantik kembali tak bisa mengontrol amarahnya. Ia menjambak rambutnya kuat-kuat, membuat darah di lengan serta punggung tangannya tak sengaja menetes ke wajah.

"ALEA, HIKS ... PULANG BANGSAT! GUE BUTUH LO!!"

ATLANTIK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang