"Di seragamnya yang rusak, bet seragamnya menunjukkan bahwa ... murid korban pemerkosaan serta pembunuhan itu, Alea."
Semua benteng pertahanan Samudra runtuh, saat ucapan Pak Kepala sekolah itu lolos dari mulutnya.
Brak! Samudra menjatuhkan tubuhnya, setelah sebelumnya sempoyongan karena pening tiba-tiba melanda kepala.
"Gak mungkin ... gak mungkin, gak mungkin!" teriak Samudra sesak. Wanita paruh baya di sampingnya, yang merupakan wali kelasnya itu, membangunkan Samudra. Menenangkan pemuda itu, agar tak terlalu larut.
"Tenangkan diri kamu, Sam, ini sudah takdir Alea, Nak."
"Nggak Bu, Alea gak boleh pergi dengan cara kayak gini, dia gak boleh pergi dengan cara kayak gini, Bu!" pekik Samudra menahan tangis.
"Tapi ... bukankah, nama Alea ada banyak di SMA Uranus? Bisa jadi, ini bukan Alea Pranadita, tapi Alea di kelas lain, 'kan?" Salah satu guru bersuara, membuat Samudra mendongak, menahan air matanya yang hendak jatuh.
Seolah masih ada secuil harapan, Samudra langsung berlari ke arah ruang otopsi. Tidak masuk, dia hanya berdiri di hadapan jendela yang sedikit terbuka. Sayangnya, Samudra tak melihat apapun.
"Masuk saja Sam, kalau kamu mau memastikan," ucap salah satu guru menyarankan.
Samudra mengangguk, masuk ke ruangan itu setelah sebelumnya memakai pakaian OK lengkap dengan masker.
Dengan langkah terseret, Samudra mendekat pada jenazah tertutup kain putih di atas brankar. Sambil meneguk ludahnya susah payah, Samudra akhirnya berhasil mendaratkan kedua kakinya di samping brankar. Kedua tangannya yang bergetar perlahan menyibak kain putih yang menutupi kepala jenazah di sampingnya.
Memejamkan mata, Samudra perlahan mengerjap. Mulutnya ternganga lebar, melihat wajah jenazah itu acak-acakan. Luka sayat dimana-mana, membuat Samudra tak bisa mengenali wajahnya dengan benar.
Tapi ... Samudra memberanikan diri melihat jemari jenazah tersebut. Lagi dan lagi, harapan-harapan mulai terbangun.
"Jari sama bentuk kukunya beda, dia bukan Alea yang gue kenal." Buru-buru, Samudra menarik kain putihnya dan kembali menutupi wajah rusak menjijikkan itu.
"Dia Alea yang lain, dia bukan Alea yang gue kenal. Alea Pranadita, pasti masih hidup. Dia nggak mungkin pergi," gumam Samudra yakin.
***
Suara sirine ambulance terdengar nyaring, setibanya mobil putih itu di depan rumah sakit. Samudra menghentikan langkahnya sesat tubuhnya hendak masuk ke mobil. Ada yang menggangu matanya, tepatnya saat seseorang yang sepertinya korban kecelakaan diturunkan dari mobil ambulance dan dipindahkan ke brankar.
Deg! Mata Samudra membelalak, saat matanya dengan jelas menangkap sosok Atlantik yang ternyata tak lain dan tak bukan, merupakan korban kecelakaan.
Berlari, Samudra berteriak memanggil nama sang kakak. Mendorong brankar, sambil terus membangunkan sang kakak yang kini tengah menutup mata dengan kepala bersimbah darah.
"ATLANTIK BANGUN! KENAPA LO BISA KAYAK GINI, AT! BANGUN! BUKA MATA LO!" pekik Samudra dengan tangisannya yang pecah.
Tepat di ruang UGD, genggaman tangan Samudra di tangan Atlantik terlepas begitu saja. Saat pintu tertutup, raib semua sosok Atlantik bisa dilihatnya.Samudra mengusap wajahnya kasar, menyeka air matanya dengan lengan seragam. Hingga tak lama, salah satu suster menyuruhnya untuk pengisian formulir dan biaya administrasi, barulah Samudra berusaha tegar.
***
Brak!
Alana terjerembab, saat salah satu kaki di belokan sekolah terulur dengan sengaja dan membuatnya jatuh. Meringis kecil, Alana melihat sepasang sepatu Converse putih tersaji di hadapannya, mendongak ... Alana langsung berdecih, ternyata Lani pelakunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLANTIK [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Daddy, bawa atu pulang ...." "Dedi, Dedi, nama gue Atlantik!" *** Atlantik Bratadika Negara. Pemuda dengan bentuk pahatan mendekati kata sempurna. Ketua Geng motor bernama ARVENSIS yang disegani banyak orang. Di...