"Alana!"
Merasa namanya terpanggil, akhirnya Alana menghentikan langkahnya. Dia berbalik badan, memicingkan mata sesaat melihat sosok Atlantik di sebrangnya. Awalnya, Alana ingin pergi saja dan mengabaikannya namun ... Atlantik kepalang berlari untuk menghampirinya cepat.
"Ada apa?" tanya Alana langsung, sesaat pemuda itu sampai.
Atlantik diam sebentar, mengontrol deru napasnya yang sedikit menderu. "Lo masih marah sama gue perihal kertas list harapan itu?" Selepas napasnya kembali menderu normal, Atlantik langsung bertanya ke inti. Tidak mau basa basi.
Alana tersenyum kecut, melipat kedua tangannya di depan dada. "Menurut kamu?"
Atlantik meringis kecil. Hal yang paling ia tak suka adalah, menerka seseorang. Sedangkan dirinya ini jelas-jelas bukan peramal. "Lo masih marah, ya?"
"Iya. Aku masih marah, dan selamanya akan marah sama kamu, At. Jadi, stop deketin aku. Kamu tau, kenapa aku baik sama kamu di rumah sakit? Dan kenapa, aku mau diajak ke danau liat rumah pohon sama kamu? Aku cuma manas-manasin Skala. Ibaratnya, kamu cuma boneka buat aku, At. Jadi disini udah jelas, aku nggak suka sama kamu, dan aku akan terus marah sama kamu!"
Atlantik merasa dirinya tercekik ludahnya sendiri. Dadanya berdenyut nyeri mendengar itu. Jemari-jemari kekar pucatnya, mengepal.
"Maaf At, ini memang menyakitkan buat kamu. Tapi emang ini adanya, aku nggak suka sama kamu, jadi tolong ... berhenti deketin aku," imbuh Alana. Ada penekanan di setiap kata yang terucap.
Gadis itu berbalik badan, bersiap hendak melangkah namun langkahnya terhenti. Oleh dirinya sendiri. Alana kembali berbalik badan, melepaskan kalung serta cincin pemberian Atlantik.
Alana maju mendekat, meraih kasar salah satu tangan Atlantik, membuka kepalan tangan pemuda itu, dan menyimpan dua benda itu ke telapak tangannya.
"Dan aku gak butuh perhiasan kayak gini, aku masih mampu beli," tukasnya, berbalik badan dan mulai melangkah.
"KENAPA LO BERBEDA DENGAN DI SURAT, ALANA?!" teriak Atlantik. Dadanya bergemuruh hebat.
Lagi dan lagi, Alana menghentikan langkahnya. Tidak berbalik badan, dia hanya menengok setengah minat. "Surat?" Alana tersenyum miring. "Bukan aku yang selama ini bertukar surat sama kamu, At. Tapi ... Alea!" ungkapnya.
Atlantik tertohok di tempatnya, dua perhiasan puluhan juta di tangannya jatuh menyentak lantai. Bahkan, cincinnya sudah menggelinding entah kemana.
"Aku gak bisa balas surat kamu, makanya aku kasih ke Alea, karena aku kasihan sama kamu, At!" tambah Alana. Tanpa bisa Atlantik mengucapkan kalimat lagi, gadis itu langsung pergi dengan cepat.
Sesaat punggung Alana tak lagi terlihat, Atlantik langsung memekik, menonjok pilar besar sekolah dengan tangan kosong.
"ALEA!! LAGI DAN LAGI, LO BOHONGI GUE!" pekiknya emosi. Beberapa murid yang berlalu lalang, langsung berlari pergi dengan ketakutan.
***
"Kamu kenapa diemin aku, Na? Aku ada salah ya, sama kamu? Aku minta maaf ya, Na, kalau ada salah." Alea berucap sedih, meraih tangan Alana dan menggenggamnya erat.
Alana diam, enggan menatap balik Alea. Baginya, Alea tak akan bisa dimaafkan.
Kamu udah rebut Skal, Lea. Dan aku gak terima itu. Aku benci kamu ....
"Lepas, aku mau kelas!" tukas Alana, dengan gerak kasar ia menepis genggaman tangan Alea.
Alea jelas tak tinggal diam, ia menggeser tubuhnya dan menghalangi jalan Alana. "Jawab aku dulu, Na. Apa kesalahan aku, aku mohon ... jangan diemin aku terus, aku gak ada lagi temen selain kamu, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLANTIK [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Daddy, bawa atu pulang ...." "Dedi, Dedi, nama gue Atlantik!" *** Atlantik Bratadika Negara. Pemuda dengan bentuk pahatan mendekati kata sempurna. Ketua Geng motor bernama ARVENSIS yang disegani banyak orang. Di...