1. ATLANTIK & ALEA

21.3K 2.3K 55
                                    

PLAK!!!

Jemari kekar dari pria setengah baya, berpakaian jas rapih itu berhasil menampar objek berupa pipi sang anak di hadapannya. Rahang pria setengah baya itu tampak mengeras, giginya juga tampak menggertak hebat. Ia menatap murka sosok pemuda, yang merupakan anaknya.

"ANAK GADIS MANA YANG KAMU HAMILI, SAMPAI-SAMPAI KAMU MEMBAWA ANAK KECIL KE RUMAH?!!!"

Atlantik Bratadika Negara, orang yang ditampar sang papa—Abrisam Bratadika Negara—hanya diam. Panasnya pipi, serta terkejutnya hati membuat dirinya kehilangan kosakata. Belum lagi, sang papa menudingnya yang tidak-tidak.

"KAMU NGURUS DIRI SENDIRI AJA GAK BECUS! SEKARANG? KAMU BAWA ANAK KE RUMAH?! ADA TIDAK OTAK KAMU, HAH?!!" Abrisam menoyor kepala Atlantik beberapa kali. "ATLANTIK!!!"

Sang pemilik nama masih diam membeku. Sempat ia mengerjap. Bukan takut, tapi jengah menghadapi sang papah. Tempramental, suka membanding-bandingkan, keras kepala, semua keburukan menempel pada Abrisam.

"Kamu itu memang tidak berguna, Atlantik! Nilai jelek! Akhlak minus! Punya tampang ketua geng aja bangga! Kamu contoh adik kamu, dia pintar, bisa membuat papa bangga, hidupnya berguna! TIDAK SEPERTI KAMU! ANAK BAWA SIAL!" sungut Abrisam dengan bass suara kian meninggi.

"PAPAH TIDAK SUDI MENGANGGAP KAMU ANAK! CIH!" lanjut pria itu, membuang ludahnya sembarangan.

Tidak dianggap sang papah? Atlantik sudah biasa.

Dibandingkan dengan adiknya? Atlantik juga sudah biasa.

Diperlukan kasar oleh sang papah? Atlantik juga banyak terbiasa.

Atlantik sudah terbiasa dengan banyaknya kesakitan. Rasanya, rasa sakit sudah berteman dengannya.

"Sekali lagi, papah tanya pada kamu, siapa gadis yang sudah hamili, sampai-sampai kamu membawa anak ke rumah?!" Untuk kedua kalinya, Abrisam bertanya. Suaranya memberat, sorot matanya menajam dan menggelap.

"Atlantik memang anak bandel." Pemuda 180 sentimeter itu bersuara, dengan berani ia menatap sang papah. "Tapi, Atlantik tak pernah kepikiran buat rusak perempuan. Anak yang Atlantik bawa, itu anak yang Atlantik temui di jalan."

Kedua sudut bibir Abrisam berkedut menahan tawa. "Omong kosong," kekehnya.

Atlantik tersenyum getir, sudah ia duga bahwa papahnya tidak akan pernah percaya padanya. Sudah kepalang di cap bandel, entah itu di sekolah maupun di lingkungan masyarakat, membuat Atlantik menjadi manusia yang sulit dipercaya banyak orang. Termasuk papahnya.

"Tinggalkan rumah ini, bawa anak itu. Papah muak." Sambil menggeleng lelah, Abrisam mengusir dengan baik-baik.

Baiklah, Atlantik akan pergi. Lagipula, sudah lama ia ingin pergi dari rumah yang sudah seperti neraka baginya.

"Oke, Atlantik pergi dari rumah ini. Terima kasih, untuk rasa sakit selama ini." Tersenyum tipis, Atlantik menerobos tubuh tegap sang papah.

Pemuda itu berjalan ke dekat tangga, menghampiri bocah laki-laki yang duduk di undakan tangga terakhir dengan mata yang sudah lima watt.

"Ayo, kita pergi," ajak Atlantik. Mengulurkan tangannya, dan langsung disambut baik.

Karang mengerjap tak paham dengan apa yang terjadi. Di usianya, yang baru menginjak 4 tahun, tidak seharusnya Karang melihat tindak kekerasan, pertengkaran panas, seperti tadi.

"Daddy, kita mau temana?" Karang menengadah, menatap wajah Atlantik.

"Kita pergi, ini bukan rumah kita."

"Telus, timana lumah kita?" tanya Karang lagi.

"Ikut aja sama gue. Intinya rumah kitabukan disini." Atlantik menjawab lelah. Karang mengangguk, mengeratkan genggaman tangannya dengan tangan kekar Atlantik.

ATLANTIK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang