Cukup dengan minyak kayu putih dan sekali cipratan air yang Atlantik lakukan, akhirnya Alea terbangun pingsannya. Sekitar lima menit, gadis dengan rambut diwarna itu terbaring lesu di atas brankar UKS.
"Lo bisa nggak sih, kalau setiap sekolah tuh, sarapan," omel Atlantik. Wajah pemuda itu menebal, berusaha sebisa mungkin terlihat tidak peduli. "Kalau pingsan kayak gini, gue yang susah!" imbuhnya.
Alea berdeham, mengendurkan urat-urat wajahnya yang menegang. Entah kenapa, Alea selalu saja tegang jika ditatap Atlantik.
"Gue gak minta lo nolongin gue," sinis Alea.
"Tapi keadaan lo tadi itu minta dikasihani." Atlantik mengatur napas. Membuka satu kancing kemeja putihnya, untuk sedikit memberikan celah napas agar tak sesak. "Kenapa lo bisa dihukum?" lanjutnya, bertanya.
"Bukan urusan lo," jawab Alea. Mengenyampingkan posisinya, membelakangi Atlantik.
Atlantik yang semula duduk di kursi besi samping brankar, kini berarak duduk di bibir brankar. Membuat brankar sedikit bergoyang, membuat Alea paham, bahwa Atlantik kini ada di dekatnya. Sangat dekat malah. Bahkan, Alea saja merasakan tubuh Atlantik menyentak punggungnya.
"Mentang-mentang penampilan kayak bad girl, lo mau cari masalah gitu?"
"Gue bukan bad girl!" elak Alea tak suka.
"Iya emang, lo adalah Alea. Babunya Atlantik."
"Gue bukan Alea yang dulu. Gue bukan babu lo!"
Atlantik menepuk-nepuk pundak Alea dari belakang, namun dengan cepat gadis itu menepis. "Lo tetap Alea yang dulu di mata gue, lo tetap babu gue. Lo adalah Mommy Lele, Mommy-nya Karang."
Alea kehabisan kata-kata mendengar itu. Setiap kali, nama Karang disebut. Alea merasa hatinya ditusuk duri. Sakit rasanya karena menampung rindu pada bocah itu.
"Le, balik kayak dulu ya?" Suara Atlantik berubah. Memilu. "Gue dan Karang, butuh lo." Atlantik mengiba.
"Gak. Gue gak sudi!" Singkat, namun menyayat. "Gue gak sudi balik jadi babu lo, gue capek. Gue pengen bahagia!"
"Gue akan bahagiakan lo."
Alea membalikkan tubuhnya, menatap Atlantik dengan dengan senyuman miring. "Bahagiain gue?"
Satu sudut bibir Alea terangkat, ia berdecih. Pelan-pelan duduk, Alea menatap Atlantik sambil menggeleng tak percaya. "Dari dulu, semua yang lo omongin ke gue, itu basi! Itu semua cuma kalimat penenang! Lo pikir, gue akan terbujuk rayuan lo? Dengan embel-embel membahagiakan, yang belum tentu ke depannya bakal gimana. Gue udah duga, gue udah wanti-wanti lo bakal ngemis ke gue. Tapi Atlantik Bratadika Negara, gue gak akan balik sama lo!"
Atlantik terasa tercekik mendengar itu. Keadaan benar-benar sudah berbalik. Semesta memang keren. Bisa sekali dia mengatur skenario rumit seperti ini.
"Gue bukan Alea yang dulu!" Alea menunjuk-nunjuk dirinya sendiri. Matanya urung berkedip, menatap bibir Atlantik yang bungkam. Tidak terbuka sedikit pun.
"Alea yang dulu, udah lo bunuh At! Lo bunuh dengan banyaknya rasa sakit. Lo yang bikin gue kayak gini! Lo ngerti nggak, sih?!" bentaknya, mendorong bahu Atlantik kasar. Mata Alea memanas. Sialnya, sifat cengengnya untuk yang membuat hatinya sakit, tidak bisa hilang. "Gue udah lupain lo, At. Gue gak mau lagi terjerumus ke kehidupan lo! Gue gak mau!"
Garis bibir Atlantik mengukir senyuman pedih. "Oh iya? Lo udah lupain gue?" Memajukan tubuhnya, Atlantik mengukung Alea. Membuat wajah keduanya sangat amat dekat. Sekali saja Alea atau Atlantik maju lagi, atau bergerak sedikit, wajah mereka pasti berbenturan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLANTIK [SELESAI]
Teen Fiction[DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Daddy, bawa atu pulang ...." "Dedi, Dedi, nama gue Atlantik!" *** Atlantik Bratadika Negara. Pemuda dengan bentuk pahatan mendekati kata sempurna. Ketua Geng motor bernama ARVENSIS yang disegani banyak orang. Di...