46. PERPISAHAN

11.8K 1K 31
                                    

3 HARI KEMUDIAN ....

Pencarian pihak polisi, akhirnya membuahkan hasil. Setelah berhasil menangkap pelaku, yang akhirnya membeberkan semua. Akhirnya, titik terang kini menyelimuti kabut duka di SMA URANUS. Dugaan Skala benar, bahwa bukan Alea Pranadita lah korbannya. Melainkan Alea mantan anak IPS, yang sudah keluar.

Tidak ada yang tahu, kenapa Alea mengenakan seragam saat kejadian. Yang terpenting, bukan Alea Pranadita yang jadi korban.

Dalam kurun waktu 3 hari, tidak ada yang baik-baik saja di kehidupan Samudra. Ia sudah kelabakan mencari Alea, namun nihil hasil. Semua hasil dari usahanya benar-benar nol. Seolah telan bumi, Alea tak menunjukkan batang hidungnya lagi.

Seolah pikirannya tengah diserang beban pikiran bertubi-tubi, Samudra kini harus mengurus Karang dan menjaga Atlantik yang sampai kini masih terbaring tak sadarkan diri. Belum lagi, Samudra harus menerima penekanan dari sang papah. Abrisam terus menagih janji Samudra untuk pergi.

Tapi apalah daya, Samudra sudah berjanji pada dirinya sendiri. Tak akan pergi meninggalkan Indonesia, sebelum Alea kembali. Samudra tak mungkin meninggalkan Atlantik dan Karang.

"Uncle Sam, ini udah tiga hali, kok Daddy Itik nggak buka mata, ya? Dia malah ya sama atu?"

"Nggak Karang. Daddy Itik nggak marah sama kamu, Daddy Itik sekarang lagi istirahat."

Karang manggut-manggut. Ia sudah hafal dan khatam, bahwa Samudra akan mengucapkan kalimat itu terus. Sambil menatap Atlantik, Karang menitihkan air matanya. Hidupnya benar-benar terasa hambar dan kurang nyawa, setelah Alea pergi begitu saja menelantarkannya.

"Daddy Itik halus bangun, halus bawa Mommy Lele pulang, ya? Bial kita sama-sama lagi. Atu kangen Daddy Itik, sama Mommy Lele." Karang memeluk Atlantik. Menyimpan kepalanya di dada bidang pemuda itu. "Atu selalu beldoa sama Allah, biar Allah cepet-cepet sembuhin Daddy Itik, dan bawa Mommy Alea kembali. Atu kangen kalian ...."

"Ya Allah, cepet sembuhkan Daddy Itik, dan suluh Mommy Lele kembali, aamiin ...."

***

"Bentar lagi, satu bulan penuh. Itu tandanya, sisa hidup aku satu bulan lagi. Kamu udah siap, kehilangan aku, Skal?"

Skala hanya diam, tak menjawab apapun. Gestur tubuhnya pun mendadak lumpuh.

"Skal?" Alana menyenggol lengan Skala. Membuat pemuda itu menoleh.

Air muka Skala kosong, kusut seperti benang layangan.

"Siapa sih Na, yang mau kehilangan?" Skala berbalik tanya kemudian.

"Skal, hidup itu memang perihal menyambut kedatangan dan merelakan kepergian," kata Alana.

"Kenapa sih, Tuhan mempertemukan kita kalau akhirnya kita bakal berpisah juga, hm? Gue udah nyokap gue, gue udah kehilangan Alea dan sekarang? Gue harus kehilangan lagi? Kenapa Tuhan gak ambil gue aja, sih? Kenapa Tuhan ambil semua orang, yang dimana mereka itu alasan gue untuk tetap hidup?"

Mata Alana yang mulai sayu, kini sedikit berkaca-kaca.

"Kenapa Tuhan gak mau kasih kesempatan, supaya lo bisa lebih lama ada di samping gue, Na?" Mata Skala memanas. Tangannya sudah terkepal, menahan marah. Marah pada semesta yang selalu saja berlaku tak adil padanya.

"Skal, jangan kayak gini. Jangan buat kepergian aku jadi berat, jangan nangis." Alana menyeka air matanya yang berhasil lolos dari kelopak mata Skala.

Alana memeluk lengan Skala, dan menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu dengan nyaman. Pergi ke danau, disaat pulang sekolah tiba, memang sudah direncanakan keduanya.

ATLANTIK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang