17. BERTEPUK SEBELAH TANGAN

9.2K 1.1K 53
                                    

Ulangan harian bahasa Jepang sudah selesai. Alea merasa puas dengan dirinya sendiri, karena bisa menjawab dan melakukan tes lisan di depan kelas dengan lancar. Itu artinya, semalam dia belajar tak sia-sia. Buktinya saja membuahkan hasil.

Terbukti, saat nilai dibagikan, Alea mendapatkan nilai tertinggi 9,5. Disusul dengan Alana 9,0 dan disusul lagi dengan Skala 8,5.

Lagi, Skala harus menerima kenyataan pahit. Pemuda itu menggeram di tempatnya, meremas kuat kertas ulangan yang sudah dibagikan itu. Seketika, kepala Skala hendak pecah rasanya. Ancaman Arham, terngiang di telinganya.

"Sekali lagi, kamu mendapatkan nilai 8,5 papah gak segan-segan menghapus nama kamu di kartu keluarga, Skal!"

Skala meremas dadanya yang sesak. Wajahnya mulai memucat. Alana yang sadar akan itu, tergerak hati bertanya, walaupun nyatanya ia tengah marah dengan Skala.

"Skal, kenapa?" tanya Alana khawatir.

Skala hanya menggeleng sambil terus meremas dadanya yang sesak. Seolah pasokan udara kini benar-benar memadat untuknya. Jika tengah stres, Skala memang selalu saja sesak. Ini semua mungkin terjadi, karena ada penekanan kuat yang diberikan Arham.

"Skal ...."

"Gue gapapa Na. Lo bisa beliin gue minum nggak?"

"Boleh. Tunggu disini ya. Aku beliin kamu roti juga, tunggu Skal!" Alana langsung buru-buru beranjak, berlari pergi meninggalkan kelas.

Pergerakan Alana yang keluar kelas, tak pelak membuat Alea juga turut keluar kelas mengejar gadis itu. Jujur, Alea ingin berbicara dengan Alana. Karena sejak pagi, sampai sekarang Alana terus bungkam padanya.

Kendati demikian, Skala yang masih merasakan sesak karena menerima nilai lagi dan lagi 8,5 memutuskan untuk menghubungi seseorang.

Bu Winda (psikolog)
Online

Bu, saya mau konsultasi bsk.
Bisa?

Bisa Skala, kamu kenapa lagi? Apa papah kamu mempersalahkan nilai lagi?

Saya akan ceritain besok Bu

Baik Skala, besok datang saja jam 10.00

Baik Bu

Hanya ini yang bisa Skala lakukan. Disaat banyaknya pikiran dan ratusan pertanyaan yang ia simpan di kepala, Skala hanya bisa menumpahkannya pada Winda—seorang  psikolog yang dikenalnya satu tahun belakangan ini. Skala sudah melakukan konseling dengan Winda, dan hanya itu yang membuat Skala tenang. Disaat papahnya tak bisa mendengarkan semua keluh kesahnya, Winda ada selalu ada untuk Skala kapanpun Skala minta.

***

"Kamu marah sama aku?" tanya Alea langsung.

Alana yang tengah membayar sebotol air mineral sekaligus dua bungkus roti hanya menggeleng. Selesai dengan aktivitasnya, Alana langsung melangkah keluar kantin, masih dengan diikuti Alea.

"Na, aku minta maaf kalau aku ada salah, maafin aku Na." Alea memohon, dengan suara menyendu. Didiamkan oleh seorang sahabat satu-satunya dalam hidup, adalah hak terburuk bagi Alea.

"Na ...."

Alana menghentikan langkahnya, ia menoleh pada sosok Alea. Lalu tersenyum lebar membuat pipinya menyipit.

"Aku nggak marah Le, cuma lagi kesel aja sama Skala," katanya.

Ada kelegaan di hati Alea. Seperti tengah naik roller coaster, dan sekarang tengah meluncur ke bawah dengan selamat. "Na, jangan diemin aku lagi, ya?"

ATLANTIK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang