19. Healer

1.4K 188 5
                                    

Rahang bawah Freya terjun bebas saat melihat keadaan ruang tengah apartemen Juna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rahang bawah Freya terjun bebas saat melihat keadaan ruang tengah apartemen Juna. Dia sama sekali tidak menyangka akan disambut begitu meriah. Ditambah lagi Juna sudah duduk di sofa sambil tersenyum lebar.

"Jun, lo mau naikin berat badan berapa kilo?" tanya Freya sembari melangkah menuju sofa. Dia mendaratkan bokong tepat di samping laki-laki itu. "So, you said need me, it means to spend all this food?"

"Yes!" jawab Juna. Kepalanya mengangguk dengan mantap. "Gue butuh seseorang buat duduk di samping gue sambil makan semua ini. Sekalian sambil nonton film aja, ya? Lilin aroma therapi gue lo simpan di mana?" Juna beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar.

Freya membuang napas. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Ada pizza, ayam tepung, kentang goreng, donat, cheese stick, beserta minuman manis yang akan menemani. Kalau begini ceritanya, Juna mengajak Freya bunuh diri. Semua makanan yang ada di atas meja termasuk junk food, bisa mengundang kanker.

"Kita nonton kartun aja, ya, biar agak santai." Juna kembali dengan dua buah lilin aroma terapi yang sudah menyala. Ia mengotak-atik televisi, lalu duduk bersandar begitu film dimulai. "Makan, Re, jangan malu-malu. Anggap aja rumah sendiri."

Sembari berdecak keras, Freya mengambil caramel latte dan menyeruputnya dalam. "Lo harus traktir makanan sehat buat seminggu ke depan. Besok pagi, bukan lagi air yang paling banyak di tubuh gue, tapi kalori."

"Iya, iya. Nanti gue kasih daun-daunan, deh." Juna menyandarkan kepalanya pada bahu Freya. Meski tinggi gadis itu tidak seberapa, tetapi rasanya akan selalu nyaman. "Gue cengeng, ya, Re? Gue juga gak tahu kalau efeknya bakal separah ini."

"Gak apa-apa kalau lo mau cengeng sesekali. Lo gak akan kehilangan pesona lo kalau nangis karena lo terluka. Gue gak akan bilang siapa-siapa, kok." Freya memutar gelas minuman yang ada di tangannya sambil melihat pergerakan air di dalamnya. "Justru, yang bahaya itu di saat lo memutuskan buat menahan semuanya padahal sebenarnya lo gak bisa."

Memang, mata Juna tertuju pada layar televisi, tetapi fokusnya tetap pada Freya. "Makanya, lo jangan pernah tinggalin gue. Karena gue cuma bisa jujur mengenai perasaan gue di depan lo doang, Re."

Sementara tangan kanan Freya memegang minuman, tangan kirinya terulur untuk mengusap rambut gondrong Juna. "Ternyata gini rasanya punya anak manja. Not bad. At least, I feel like an important person."

"It's not just your feeling. It's fact, Re," gumam Juna, tetapi dia yakin Freya bisa mendengarnya dengan baik.

Keduanya kembali hening. Pikiran Juna melayang ke masa-masa SMA bersama Freya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis monoton yang membosankan bisa menjadi bagian penting dalam hidupnya.

"Gue yang akal jadi partner belajar lo mulai sekarang."

Sontak saja perhatian Juna—yang awalnya tertuju pada ponsel—beralih. Dia mengangkat sebelah alisnya sambil terus memperhatikan gadis di hadapannya. "Oh, jadi lo yang diutus sama Bu Rahma?" tanyanya dengan nada mencemooh. Dia geleng-geleng kepala. "Bilangin sama Bu Rahma atau sama siapa pun guru yang nyuruh lo, gue gak butuh partner belajar. Gue juga gak peduli naik kelas atau enggak. Ini hidup gue. Jadi, terserah gue mau dibawa ke mana."

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang