41. Regret

1.4K 177 9
                                    

Saat Juna datang dengan keadaan babak belur karena ulah papanya, Freya selalu menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat Juna datang dengan keadaan babak belur karena ulah papanya, Freya selalu menangis. Saat Juna mulai terserang flu, Freya akan memberikan obat dan memintanya memakai jaket. Saat Juna akan menghadapi ujian, Freya yang paling cerewet untuk memintanya segera belajar. Saat Juna sulit dihubungi, pikiran buruk akan menghantui Freya.

Jika ditanya sayang atau tidak, jelas Freya sangat menyayangi Juna. 4 tahun bukanlah waktu yang singkat. Mereka berbagi suka dan duka, banyak keluh kesah, dan menggila bersama. Namun, sayang sebagai sahabat. Atau—walaupun Juna banyak melenceng—sebagai adik. Untuk mencintai sebagai lawan jenis, Freya sama sekali tidak pernah memikirkannya.

"Gue cinta lo, Re. Gak tahu sejak kapan perasaan gue berubah."

Freya langsung membenturkan kepala ke meja. "Kenapa perasaan lo harus berubah segala, sih, Jun? Kenapa lo harus cinta gue? Kenapaaa?" racau Freya dengan suara tertahan.

Memejamkan mata beberapa detik, langsung terbayang wajah serius Juna kemarin sore. Dia mengakui perasaannya dengan begitu mantap, sama sekali tidak ada keraguan.

"Gue cinta banget sama lo."

"Ah!" Freya kembali membuka matanya. "Lama-lama, gue bisa gila!"

Kepala Freya terangkat dengan sekali entakan. Matanya membulat saat mendapati Juna tiba-tiba ada di hadapannya. Entah sejak kapan laki-laki itu duduk sembari menopang dagu dan menatap Freya dengan atensi penuh.

"Makanya, jangan kebanyakan baca buku. Terlalu giat belajar juga gak baik, lho, Re," ucap Juna. "Mending jalan sama gue, yuk? Mie ayam enak kayaknya. Udah lama juga kita gak ketemu Pak Banu. Pasti dia kangen wajah ganteng gue."

Freya tak bergeming. Dia hanya menatap Juna dengan kening yang berkerut. Setelah kejadian kemarin, laki-laki itu masih bisa menunjukkan wajahnya ke hadapan Freya dan bicara dengan begitu santai? Ah, Freya lupa kalau Juna memang sangat ahli dalam bidang ini.

"Lo makan sendiri aja. Gue masih kenyang," acuh Freya. Dia kembali mengangkat bukunya untuk menghindari tatapan Juna.

Tentu, bukan Juna namanya jika diam saja saat diacuhkan oleh Freya. Dia merebut buku itu dan mendekatkan wajahnya pada Freya.

"Gak enak kalau makan sendiri. Entar, gue bilang apa kalau Pak Banu nanyain lo?" Juna masih memasang wajah polos. Bahkan, beberapa kali dia mengedipkan matanya. "Re? Yuk?"

"Jun," panggil Freya. "Lo bisa jauhin gue untuk beberapa hari ke depan, gak?"

"Gak bisa dan gak akan," sahut Juna dengan cepat. "Lagian, buat apa gue jauhin lo? Gak ada alesan buat gue ngelakuin hal itu."

Kesal dengan jawaban Juna, Freya segera menyambar tasnya dan beranjak dari sana. "Kenapa gampang banget buat lo dateng ke gue setelah kejadian kemaren, sih? Lo gak mikirin perasaan gue? Gak peduli otak gue mau pecah tiap kali gue inget ke sana?"

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang