Juna menendang kaki kakaknya tanpa ampun. "Mau sampai kapan lo perhatiin Rere kayak gitu? Mukanya gak akan berubah, masih sama."
Sontak saja Vian berdeham, merasa tidak enak hati karena ketahuan terus memperhatikan sahabat adiknya dalam diam. "Gue cuma gak percaya aja kalau lo punya sahabat cewek. Atau mungkin ... gue gak percaya kalau kalian cuma sahabat."
"Terserah lo mau percaya atau enggak. Gue gak peduli," jawab Juna dengan acuh.
Mendengar kakak beradik yang membicarakannya di depan mata, Freya hanya bisa tersenyum kikuk sambil menatap layar televisi. Jika biasanya dia bebas bertindak dan bicara di apartemen Juna, kini harus banyak diam karena sungkan pada Vian. Meski sudah lama bersahabat dengan Juna, dia baru berkenalan dengan kakaknya. Karena yang Freya tahu, Vian ini pergi ke New York 7 tahun lalu.
Tidak ada lagi dasi longgar, kemeja berantakan, atau celana kusut. Penampilan Vian kali ini terlihat jauh lebih rapi dari semalam. Dan dengan pencahayaan langit senja Jakarta, Freya bisa melihat kebaikan di wajah laki-laki itu. Dan tentu saja ... ketampanan.
"Jadi, lo gak akan ke New York lagi?"
Vian menggeleng sambil terus menikmati pizza di mulutnya. "Belajar gue udah beres, ngapain ke sana lagi?" jawab Vian dengan santai. "Kenapa? Lo keberatan kalau gue di Jakarta."
"Enggak. Justru gue senang kalau lo di sini terus. Itu artinya, papa gak akan sering-sering minta gue pulang." Jawaban Juna jauh lebih santai.
"Iya, papa sering ngadu kalau lo gak pulang sebelum papa yang telepon." Vian mengangguk. "Harusnya gak gitu, Jun. Harusnya lo pulang sebelum papa sendiri yang minta. Biarpun papa gak akan bisa bilang sama kita, tapi pasti ada rindu sebagai orang tua."
Juna hendak menyahuti ucapan kakaknya, tetapi tertahan karena ponselnya yang berdering. Dia langsung mengangkat panggilan itu begitu melihat ID caller di layar. "Apaan?" sapa Juna begitu panggilan terhubung. "Sekarang banget?" Keningnya terlihat berkerut. "Gue antar Rere pulang dulu, baru nanti ke tempat kalian." Panggilan itu berakhir dengan cepat. "Balik sekarang, yuk, Re," ucapnya pada Freya.
"Lo mau pergi? Kalau gitu, Freya biar sama gue aja."
Baru saja Freya hendak bangkit dari duduknya, langsung terhenti begitu mendengar ucapan Vian. "Eh, gak usah, Kak. Saya biar diantar sama Juna aja."
"Sebenernya, gue agak buru-buru, sih, Re. Lo sama Kak Vian aja, ya?" Tanpa menunggu respons Freya, Juna langsung mengalihkan pandangan pada sang kakak. "Ingat, lo harus anter sampai depan gerbang kosannya. Jangan diapa-apain, dia kesayangan gue."
"Gue bukan lo, Jun." Jawaban singkat Vian langsung membungkam bibir adiknya sampai tidak mampu berkutik.
Dan malam itu, terpaksa Freya harus terjebak dalam situasi aneh bersama Vian. Dia tidak pandai memulai hubungan dengan orang baru. Namun, berhubung Juna merupakan laki-laki blangsak yang sok kenal sok dekat, mereka bisa akrab dengan cepat. Hanya saja, pada Vian, Freya langsung segan hanya dengan melihat penampilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Fall [Tamat]
أدب نسائيJika untuk perempuan lain Juna adalah buaya darat yang pesonanya tidak bisa ditolak, bagi Freya dia hanya laki-laki tengil yang gemar membuatnya dalam masalah. Di balik sikapnya yang brengsek, dia adalah anak manja yang akan langsung merengek saat F...