28. Be Shoved Aside By Other

1.2K 159 6
                                    

Juna menyambar cangkir teh hijau dan menenggaknya sampai habis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juna menyambar cangkir teh hijau dan menenggaknya sampai habis. Dia melonggarkan dasi, membuka dua kancing kemeja paling atas, dan membuka jasnya. Sejak 2 jam yang lalu, napasnya mendadak sesak, tubuhnya kaku, dan hatinya tidak nyaman. Demi apa pun, terjebak di antara sang papa, mama, dan klien asal Malaysia itu adalah hal yang paling menyesakkan.

"Juna boleh pergi sekarang, 'kan, Pa?" tanya Juna sambil menyimpan kembali cangkir itu.

"Kamu mau ke mana? Kenapa buru-buru sekali?" Pak Emir balik bertanya. "Duduk dulu di sini sebentar. Lagian, sudah lama juga kamu tidak bertemu dengan mama kamu. Kalian bisa ngobrol-ngobrol dulu, 'kan?"

Terdengar helaan napas lelah dari bibir laki-laki itu. "Gak ada yang mau Juna bicarakan. Lagian, Juna juga ada janji sama Rere."

Saat itu juga, perhatian Vian beralih pada adiknya. "Lo ada janji sama Freya?"

Dan sekarang, giliran Bu Anita yang menatap putra bungsunya. "Kamu kenal sama Freya, Jun?"

Tidak ada jawaban apa-apa dari Juna. Dia lebih memilih bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja, meninggalkan meja. Juna sama sekali tidak memedulikan tatapan ingin tahu dari Vian dan mama mereka. Yang menjadi tujuannya sekarang adalah area parkir.

Bayangkan saja, selama 2 jam penuh Juna menjadi patung di antara semua orang. Dia tidak mengatakan apa pun, karena takut itu akan menjadi masalah. Ditambah lagi klien papanya lebih tertarik pada Vian. Tidak ada satu pun pertanyaan yang mereka lontarkan pada Juna, padahal tahu dia adalah anak kedua seorang Emir Yasser.

"Juna."

Langkah Juna lantas berhenti saat namanya dipanggil. Setengah hati dia berbalik dan menatap mamanya. "Apa?"

"Bisa kamu luangkan waktu sebentar? Ada banyak hal yang mau mama bicarakan sama kamu. Cuma ngobrol biasa, kok. Mama kangen sama kamu, Jun. Bisa, 'kan?" tanya Bu Anita. Beliau memasang wajah memelas, berharap itu kan berhasil mendapatkan hati anaknya.

Juna menyisir rambutnya ke belakang sambil tersenyum miring. Tatapannya sama sekali tidak bersahabat saat ini. "Gak bisa. Karena seperti yang saya katakan tadi, tidak ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Selain itu, saya juga gak peduli sama sekali dengan rasa rindu Anda. Jadi, saya permisi." Setelah mengatakan itu, Juna kembali berbalik. Sayang, kepergiannya harus tertahan.

Dengan cepat, Bu Anita menahan tangan Juna sebelum dia melangkah pergi. "Jun, mama mohon. Sudah bertahun-tahun kita enggak ketemu, kamu gak kangen? Sebentar saja, Sayang. Mama tahu, tidak akan mudah untuk bertemu dengan kamu setelah ini."

Perlahan tapi pasti, tubuh Juna berbalik. Dia menatap pegangan tangan sang mama dengan muak. "Baguslah Anda sadar telah menelantarkan anak Anda selama bertahun-tahun. Syukur juga Anda tahu tidak akan mudah bertemu dengan saya." Sekarang, tatapan Juna berpindah pada netra mamanya. "Tapi, mengapa baru sekarang Anda menyadarinya?"

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang