18. Unfair

1.4K 201 18
                                    

Juna menatap kosong dinding lift

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juna menatap kosong dinding lift. Ia baru pulang kencan dengan Risti. Juna pikir, menghabiskan banyak waktu dengan gadis itu bisa mengangkat sedikit beban di hatinya. Ternyata, ia salah. Selama berkencan, dia hanya bisa berpura-pura menikmati kebersamaan mereka. Dan begitu kembali ke apartemen, perasaan hampa justru semakin menggerogotinya.

Lift berdenting, pertanda Juna telah sampai ke lantai unit apartemennya. Dia membuang napas kasar saat melihat kehadiran Vian di depan pintu.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Juna dengan nada malas.

"Lo ganti pin?" Vian malah balik bertanya. Dia bergegas masuk begitu pintu terbuka. "Kok, gak bilang sama gue, Jun?"

Bukannya menjawab, Juna berlalu begitu saja meninggalkan sang kakak. Ia melempar jaket kulit ke atas meja dan membanting tubuhnya pada sofa. Helaan napas kasar terdengar begitu nyaring di tengah kesunyian apartemen malam itu.

Vian menatap adiknya jengkel. Namun, dia memilih untuk tidak berdebat. "Gue ke sini mau antar makanan." Ia meletakkan sebuah kotak makan sambil mendaratkan bokongnya. "Semua yang ada di sini masakan mama. Lo masih suka ayam kecap sama nastar, 'kan? Mama rela masak berjam-jam buat lo."

Masih tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Juna. Membuat Vian merasa sedang bicara pada angin malam.

"Boleh gue kasih nomor HP lo ke mama? Mama mau ketemu sama lo. Kalau lo ada waktu—"

"Gak ada. Gue sibuk," potong Juna dengan cepat. "Lo bawa lagi semua makanan itu. Gue udah gak suka ayam kecap sama nastar. Semua yang dia tahu tentang gue, semuanya udah berubah."

Kening Vian mengernyit. Jelas dia tahu ada yang salah dengan adiknya. "Lo kenapa, sih? Ketus banget sama kakak lo sendiri? Kalau ada masalah itu bilang, jangan kayak gini." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha menelisik Juna. "Atau, lo kayak gini karena kejadian di kafe waktu itu?"

Saat itu juga mata Juna terbuka. Dia kembali menyambar jaket kulitnya dan beranjak dari sana. "Gue capek. Lo pulang, sana," usirnya pada Vian, sama sekali tidak merasa sungkan.

Ketika Juna melewati tubuhnya, Vian segera menahan peegelangannya dengan cepat. "Jangan pergi dulu, lo masih harus ngomong sama gue. Apa masalah lo? Kalau kejadian itu bikin lo gak nyaman, kasih tahu gue. Gue kakak lo."

"Kakak gue?" Juna menoleh sambil memperlihatkan senyum mencemooh. "Biar gue kasih tahu. Kita cuma orang asing yang kebetulan punya marga dan lahir dari rahim yang sama. Cuma itu, Yan."

"Maksud lo apa, sih? Apa perlu lo ngomong kayak gitu, hah?" Vian ikut bangkit dari duduknya. Tatapannya tidak seramah beberapa saat yang lalu. "Dengan kita satu marga dan lahir dari rahim yang sama, itu artinya gue punya sedikit tanggung jawab atas lo. Gue akan jadi orang terdepan buat melindungi lo kalau lo ada masalah."

"Stop telling me that fuckin' bullshit!" Nada bicara Juna tiba-tiba meninggi. "You don't have right to talk like that just because you were back to Jakarta. Semua masalah gue, dari yang paling kecil sampai yang bikin gue mau mati, lo gak tahu satu pun."

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang