9. Not A Double Date

1.5K 210 16
                                    

"Makasih banyak karena udah mau menemani saya nonton, ya, Frey," ucap Vian begitu keluar dari salah satu studio bioskop

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makasih banyak karena udah mau menemani saya nonton, ya, Frey," ucap Vian begitu keluar dari salah satu studio bioskop. Dengan tangan yang masih memegang pop corn, Vian berusaha membagi fokus antara jalan yang dilihatnya dan juga Freya.

"Iya, Kak, sama-sama. Ada juga aku yang bilang makasih, karena udah ditraktir nonton." Freya cengengesan. Dia mengayun-ayunkan kedua tangannya sambil menatap Vian. "Tapi, kalau nanti Kak Vian butuh teman buat jalan-jalan lagi, jangan sungkan buat hubungi aku. Kalau gak ada tugas dan lagi gak ada janji, aku pasti akan temenin Kak Vian. Dengan senang hati. Hehe ...."

Sontak saja Vian ikut terkekeh mendengar ucapan Freya. Dia merasa senang karena interaksinya dengan Freya tidak sekaku sebelumnya. Gadis itu banyak tersenyum, tak sungkan untuk menatap netra Vian, dan sedikit cerewet dibanding sebelumnya. Jika sudah begini, Vian tidak bisa menahan hatinya untuk berharap lebih.

"Kamu laper, 'kan? Gimana kalau kita makan dulu?"

"Emang boleh?" tanya Freya dengan wajah polosnya.

Melihat betapa lucunya ekspresi gadis itu, sudut bibir Vian tertarik tinggi secara otomatis. "Boleh, lah. Masa saya pulangin kamu dengan keadaan perut kosong, sih? Gak bertanggung jawab banget."

"Ya udah, aku laper, Kak." Lalu, Freya mengedarkan pandangan, mencari tempat makan yang menggugah selera. "Makan ayam aja, yuk?"

Vian mengangguk. "Boleh."

Keduanya berjalan menuju tempat makan yang terkenal akan ayam tepungnya. Langkah Freya begitu pasti, senang karena perutnya yang beberapa saat lalu kerongkongan akhirnya akan terisi. Sementara Vian senang karena ini adalah kali pertama dia makan berdua dengan Freya.

Jika boleh jujur, banyak perempuan yang berusaha mendekati saat Vian masih di New York. Orang berkulit putih sampai Asia asli, beberapa berusaha mengetuk pintu hati Vian. Ada yang tulus dan ada juga yang mencari keuntungan, Vian bisa merasakannya. Hanya saja, Vian sama sekali tidak ada minat untuk meladeni mereka semua. Yang menjadi fokusnya saat itu adalah lulus dengan nilai baik dan membuat papanya bangga.

Dan sekarang, Vian bertemu dengan seseorang yang mampu membuat hatinya jatuh.

"Kak!"

Vian langsung menoleh saat bahunya ditepuk. "Lho, Jun? Lo ngapain di sini?" Perhatian Vian tertuju pada seorang gadis cantik yang ada di samping adiknya. "Ini siapa?"

"Kenalin, ini Risti." Dengan begitu mudah Juna menggandeng bahu Risti. Dia juga melemparkan senyum lebar pada gadis itu. "Ini kakak gue, namanya Xavian."

Keduanya saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Senyum kikuk dan atmosfer aneh menyelimuti perkenalan itu.

"Calon pacar gue. Kita baru tahap pendekatan." Tanpa sungkan sedikit pun, Juna menjelaskan siapa Risti dan apa status mereka saat ini. "Lo datang sendiri? Kayaknya, ini bukan lo banget buat keluar rumah cuma buat jalan-jalan. Tambah lagi ke tempat ramai kayak gini, biasanya lo risi."

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang