24. Realize

1.3K 173 3
                                    

Embusan napas kasar terdengar begitu nyaring di sebuah ruangan mewah salah satu gedung Jalan Raya Ragunan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Embusan napas kasar terdengar begitu nyaring di sebuah ruangan mewah salah satu gedung Jalan Raya Ragunan. Sebuah kursi agung nan mewah tidak membuat Vian merasa nyaman hari ini. Pikirannya tersita akan sesuatu yang lain. Bahkan, dia sampai menutup map berkas untuk rapat selepas makan siang nanti.

"Lo suka sama Freya?"

Vian masih ingat pertanyaan berani yang dia layangkan pada Juna kemarin sore. Dia juga ingat bagaimana sang adik tersedak, membulatkan mata, dan menghindari tatapannya. Dan Vian juga melihat bagaimana ekspresi marah Juna saat dia memijat kaki Freya yang tersandung.

Semua itu membuktikan bahwa Juna memang memiliki perasaan lebih pada Freya. Dia melihat gadis itu bukan lagi sebagai sahabat.

"Ah, kenapa gue bisa ngomong kayak gitu, sih?" Vian mengusap kasar wajahnya sembari membanting punggung ke sandaran kursi. "Jadi senjata makan tuan, 'kan? Niatnya mau dapet jawaban pasti dari Juna, malah gue yang kepikiran begini."

Baiklah, Vian bisa merasakan ketertarikan yang sama dari Freya. Semakin hari, cara pandang Freya padanya semakin melembut. Namun, jangan lupa bahwa Juna lebih banyak menghabiskan waktu bersama Freya dibanding dirinya. Itu artinya, Juna memiliki kesempatan yang sangat banyak untuk mengutarakan perasaannya.

"Kalau itu anak udah bilang tentang perasaannya, terus Freya malah berbelok arah, gimana? Gue gak siap patah hati." Vian menghela napas panjang. Dia merogoh saku jas dan mengeluarkan ponselnya. "Gak bisa gini terus, gue harus kendalikan emosi gue. 2 jam lagi ada meeting."

Fitur galeri dibuka oleh Juna. Jarinya secara otomatis menekan foto Freya.

"Gimana mungkin saya bisa lepasin perempuan sebaik kamu, Frey?" ucap Vian pada layar ponselnya, seakan-akan itu adalah wajah Freya. Lalu, jemarinya menggulir foto selanjutnya. "Udah baik, cantik, sopan, pinter lagi. Mau cari di mana perempuan seperti kamu?"

"Wah, ada yang lagi kasmaran, nih."

Vian tersentak. Dengan cepat dia mematikan layar ponselnya dan melempar senyum. "Ma? Sejak kapan Mama di sana?"

Bu Anita melanjutkan langkahnya setelah menutup pintu. Beliau tersenyum penuh arti pada putra kesayangannya. "Sejak kamu senyum-senyum sambil lihat HP. Mana senyumnya lebar banget, kelihatan lagi kasmaran. Pasti lagi perhatiin foto Freya. Iya, 'kan?"

"Iya," jawab Vian sambil mengusap lehernya. Ia bangkit dari duduknya dan bergabung dengan sang mama untuk duduk di sofa.

"Kalau emang suka, jangan cuma dilihatin fotonya, dong, Sayang. Bilang sama orangnya, terus jadian. Anaknya baik, mama suka." Bu Anita tersenyum.

"Aku udah bilang kalau aku suka dia, Ma. Cuma, gak bisa langsung minta dia jadi pacar juga. Kita memutuskan buat lewati masa pendekatan dulu. Kalau emang waktunya udah tepat, nanti kita akan lanjut ke jenjang selanjutnya."

Kening Bu Anita mengernyit. "Kalau begitu bagus, dong. Tapi, kenapa wajah kamu murung begitu?"

Vian memaksakan senyumnya. "Enggak apa-apa. Cuma lagi agak lapar aja. Untung Mama datang di waktu yang tepat."

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang