31. Hesitant

1.2K 165 4
                                    

Deretan huruf di hadapannya perlahan mengabur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deretan huruf di hadapannya perlahan mengabur. Imajinasi Freya mengenai isi novel terjemahan yang sedang ia baca perlahan kacau. Pikirannya kembali kalut saat teringat kejadian 2 hari yang lalu, saat ia bertemu dengan perempuan bernama Evelyn.

Vian kembali tanpa perempuan itu. Dia hanya menyebutkan bahwa semua perkataan Evelyn tidak benar, tidak ada apa-apa di antara mereka. Ia sama sekali tidak menjelaskan mengapa Evelyn bisa tiba-tiba muncul di depan Freya dan mengaku sebagai pacar Vian yang berasal dari New York. Dan lebih bodohnya lagi, Freya sama tidak ada nyali untuk bertanya. Dia merasa tidak berhak.

"Jangan ngelamun. Setan pada antre buat masuk ke cewek cantik kayak lo. Bisa kacau entar. Gue gak pinter ngaji buat rukiyah lo."

Saat itu juga, Freya mendapatkan kembali kesadarannya. Dia menerima caramel latte dingin dari Juna. "Jun," panggil Freya sembari menatapnya.

"Apa, Sayang?" sahut Juna acuh tak acuh. Dia masih sibuk menata makanan di atas rumput.

"Lo sama Kak Vian suka saling cerita gak, sih? Curhat tentang apa, kek." Secepat kilat Freya menggelengkan kepala. "Ah, bukan itu maksud gue. Emm ... sebanyak apa lo kenal kakak lo?"

Juna menatap Freya dengan wajah datar. "Masih butuh jawaban gue?"

Bahu Freya merosot seketika. Tentu jawabannya tidak pernah cerita dan sangat sedikit Juna mengenal kakaknya. Freya putus asa, tidak tahu harus mencari kebenaran ke mana. Sampai tidak sadar telah melemparkan pertanyaan bodoh pada Juna.

Alis kanan Juna terangkat kala melihat kebisuan Freya itu. Dia menelisik netra sang sahabat. "Kenapa nanya gitu? Kayaknya, ini gak menyangkut tugas, deh." Lalu, dia tersenyum miring. "Is he makes you surprise about his personality? Or maybe some habbit? Secret?"

"Bukan begitu, Jun. Gue cuma mau kenal Kak Vian lebih jauh aja. Dan lo tahu sendiri, dia gak punya sahabat deket di Jakarta. Cuma itu," dusta Freya. Untuk menghindari kontak mata, dia lebih memilih menatap minuman di tangannya.

"Tapi lo salah nyari sumber, Re." Juna memposisikan duduknya untuk ikut bersandar ke pohon, tepat di samping Freya. "Tapi, kalau dia bikin lo sakit hati, sekecil apa pun itu, lo harus kasih tahu gue. Biar gue hajar. Gak peduli dia kakak gue atau bukan, lo tetap prioritas gue. Dan inget, gak boleh ada yang lo sembunyiin dari gue."

Freya hanya mengangguk, mengiyakan perkataan Juna begitu saja. Supaya laki-laki itu tidak banyak bicara. Padahal, sebenarnya Freya berniat tidak terlalu suka soal laki-laki, kecuali jika sudah resmi. Dia tidak mau kejadian masa SMA kembali terulang.

"Ngapain lo senyum-senyum mulu, sih? Perasaan, lo gak pasang behel, deh." Juna menyenggol sikut Freya. Pikirannya dari materi fisika atom buyar karena gadis itu. "Re? Woy!"

Suara nyaring Juna berhasil menyentak Freya. Dia menengok dengan wajah bingung. "Hah? Apa?"

"Lo masih waras, 'kan? Gue lihat dari tadi kerjaannya nyengir mulu. Kenapa, sih? Kalau ada masalah itu bilang sama gue."

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang