Jika untuk orang lain hari pernikahan adalah hari yang sangat membahagiakan, itu sama sekali tidak berlaku untuk Vian. Senyum yang diq berikan pada tamu jelas dipaksakan, dia juga sama sekali tidak mempedulikan kehadiran Evelyn di sampingnya. Tatapan kosong berulang kali menelisik ke tengah para tamu undangan, mencari seseorang.
"Sayang."
Vian lantas menoleh saat dipanggil. "Ya, Ma?"
"Makan dulu, yuk? Mama udah siapin makanannya," ucap Bu Anita. Lalu, beliau beralih pada menantunya. "Evelyn tunggu di sini dulu, ya? Nanti makannya gantian. Gak enak sama tamu kalau pelaminannya kosong."
"Iya, Ma," singkat perempuan itu sembari terus menggerakkan kipas di tangannya.
Pandangan Evelyn jatuh pada bahu Vian yang menjauh. Dia juga peka, sangat tahu bahwa hanya dirinya yang berbahagia atas pernikahan ini. Vian menikahinya hanya atas dasar tanggung jawab, bukan cinta. Namun, Evelyn tidak peduli. Sekarang, Vian benar-benar terikat padanya. Laki-laki itu tidak akan bisa lari ke mana pun.
"Jun."
Perhatian Juna—yang tadinya dari kue—beralih. Dia hanya mengangkat alisnya sebagai respons.
"Freya gak dateng?" lanjut Vian dengan suara sendu.
"Menurut lo?" Juna malah balik bertanya. Dia kembali mengambil sesendok kue dan menikmatinya. "Lo udah gak ada urusan apa-apa lagi sama Rere. Jangan pernah berani-beraninya lo seret dia lagi ke hidup lo. Fokus aja sama istri lo. Dia bisa jadi gila kapan aja."
Vian menunduk lesu. Dia hanya bisa memandangi nasi di hadapannya dengan kosong. Sebenarnya, Vian sudah tahu Freya tidak akan datang. Namun, tetap saja hatinya berharap bisa bertemu gadis itu. Mungkin, ini kesempatan terakhir.
"Lebih baik Kak Vian pulang sekarang. Bentar lagi hujan," teriak Freya dari jendela. Dia menatap datar pada Vian yang berdiri di depan gerbang indekos.
Vian menggeleng kuat. "Enggak, Frey. Saya gak akan pergi sebelum kamu turun dan dengar apa yang saya katakan."
"Gak ada yang perlu kita bahas lagi, Kak. Semuanya udah berakhir. Aku gak mau lagi terlibat urusan apa pun sama Kak Vian," cetus Freya, tak kalah mantap dari jawaban Vian. "Ya sudah kalau Kakak mau di sana. Mau kehujanan juga, aku gak peduli!" Freya kembali menutup jendelanya.
Itu bukan yang pertama, tetapi kesekian kali Vian berusaha menemui Freya. Ia tahu, tidak ada lagi kesempatan untuk menjelaskan, apalagi untuk berkilah. Namun, setidaknya Vian bisa meminta maaf dengan cara yang benar pada Freya. Jauh-jauh membuat gadis itu tahu bahwa perasaannya memang ada.
Vian tersenyum saat melihat Freya berlari dengan payung kuning di tangannya. Payung yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka.
"Kenapa batu banget, sih, Kak? Jadinya basah, 'kan?!" dengkus Freya sembari melindungi Vian dari hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Fall [Tamat]
Literatura FemininaJika untuk perempuan lain Juna adalah buaya darat yang pesonanya tidak bisa ditolak, bagi Freya dia hanya laki-laki tengil yang gemar membuatnya dalam masalah. Di balik sikapnya yang brengsek, dia adalah anak manja yang akan langsung merengek saat F...