39. Broken

1.4K 174 10
                                    

Freya menatap layar ponselnya dengan senyum merekah. Cepat-cepat dia menyembunyikan wajah di balik telapak tangan karena tidak ingin ada yang melihat rona di pipinya. Seperti biasa, Vian selalu bisa membuat Freya bahagia hanya dengan perbuatan sederhana.

Hari ini, mereka berjanji akan bertemu di kafe depan kampus lagi. Tidak akan lama, karena Freya masih ada kelas. Vian masih di jalan karena terjebak kemacetan. Namun, dia meminta Freya menunggu melalui pesan lengkap dengan foto sebuket bunga mawar merah.

Hanya saja, wajah semringah Freya itu mendadak luntur saat melihat nama Juna tertera di layar ponselnya. "Hm?" sapa Freya begitu menerima panggilan itu.

"Lagi di mana, sih? Gue cariin ke fakultas lo, tapi gak ketemu-ketemu. Lagi di perpus, ya?"

"Enggak. Gue lagi di depan," jawab Freya.

Untuk beberapa saat, Juna hanya terdiam di seberang sana. Dia baru angkat suara setelah membuang napas kasar. "Ketemuan sama Kak Vian lagi?" tanyanya, dengan nada tak suka.

"Ya ... iya."

Lagi, Juna membuang napas kasar. Bahkan, kali ini dia juga berdecak keras. "Masih aja lo nekat buat ketemu sama dia, Re. Kan, gue udah bilang, pastiin dulu keseriusan dia sama lo, baru pacaran. Kalau ketemuan terus kayak gini, dia makin kesenengan, Re."

"Terus, kalau enggak pakai ketemuan, gimana bisa gue tahu Kak Vian serius atau enggak? Kan, itu cara yang paling efektif. Udah, ah, jangan telepon lagi. Kak Vian udah di jalan. Lo ganggu doang!" Freya memutuskan panggilan itu secara sepihak. Dia menatap ponselnya dengan kesal. "Kurang kerjaan banget ini anak!"

Belum selesai rasa jengkel Freya pada Juna, sekarang dia harus berhadapan dengan Evelyn yang sudah ada di hadapannya. Entah sejak kapan perempuan itu masuk kafe dan bergabung di meja Freya. Yang jelas, keberadaannya di sana berhasil mencuri semua perhatian pengunjung kafe.

"Hai, Freya," sapa Evelyn, lengkap dengan senyum lebarnya. "How are you?"

Freya tampak cengo. Namun, sebisa mungkin dia tetap tenang. "Gue baik," singkatnya, sambil mengangguk kecil. "Lo lagi ada urusan di sekitar sini, ya? Bisa kebetulan banget ketemu di sini."

"Don't pretend to be stupid like that. You look so annoying," cibir Evelyn dengan begitu enteng. "Lo mau ketemu sama Vian, 'kan? Gue ajak dia ketemu, katanya hari ini sibuk banget."

Tidak ada jawaban, Freya lebih memilih untuk diam. Dia tahu pasti, perempuan seperti Evelyn ini sama sekali bukan tandingannya.

"Kayaknya, omongan gue waktu itu enggak bisa masuk ke otak lo dengan baik, deh. Lo masih hubungi Vian, bahkan masih mau aja ketemuan sama dia. Segitu ngebetnya sama cowok orang?"

"Lo bukan pacarnya Kak Vian, 'kan? Lo ... mantannya, 'kan? Atau, cuma cewek psikopat yang ngejar-ngejar dia?"

Tawa Evelyn meledak seketika. Dia sama sekali tidak menyangka Freya melawan kata-katanya, apalagi menggunakan ucapan pedas. Namun, itulah yang akan membuat pertemuan mereka lebih seru.

"Ya, gue akui, gue bisa gak waras kalau mengenai Xavian," ucap Evelyn di sisa tawanya. "Tapi, lo juga harus menyiapkan diri, Frey. Karena apa yang lo lihat kali ini bisa aja bikin lo gila." Evelyn menyerahkan ponselnya pada Freya.

Walaupun ragu, Freya tetap menerima benda pipih itu. Dia melirik Evelyn sekilas, sebelum akhirnya menyentuh layar untuk memutar sebuah video. Saat itu juga, hati Freya hancur.

Sepertinya, video itu diambil di kediaman Evelyn di salah satu perumahan elit. Sepasang insan yang turun dari mobil—Vian dan Evelyn—bercumbu sampai dalam rumah. Vian membelai rambut Evelyn, memeluknya erat, dan menyerahkan tubuhnya pada perempuan itu. Bahkan, sebelum masuk salah satu kamar, Vian juga melepaskan jas dan kemejanya dengan terburu-buru. Dan semua orang pasti tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang