1. Break Up

4.5K 327 33
                                    

Kapan Jakarta bisa dingin?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kapan Jakarta bisa dingin?

Itu adalah sebuah pertanyaan bodoh yang sering muncul di kepala para penduduk ibukota. Padahal jelas, jawabannya tidak perlu diragukan lagi. Polusi di mana-mana, minimnya tanaman yang membuat kulminasi tinggi, dan banyak hari dilewati tanpa adanya awan. Yang lebih menyebalkan lagi, ada saja warga DKI yang membuat emosi meningkat.

Dengan tangan yang terkepal, tatapan tajam, dan langkah penuh keyakinan, seorang cewek masuk ke sebuah warnet yang ada di seberang Jalan Kampung Duku. Masuk ke bilik nomor 5, kemudian melempar tasnya ke lantai dengan keras.

"Jun, bisa gak lo biarin gue menghirup oksigen dengan penuh kemerdekaan? Bisa gak lo biarin gue hidup normal sehari aja, tanpa adanya gangguan yang sumbernya dari lo?" cerocos gadis itu dengan penuh frustasi.

Laki-laki yang ada di sana-yang sedang bermain game-meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada layar komputer. "Apaan, sih, Re? Dari tadi gue main di sini, sehari ini gue belum ganggu lo, lho."

Gadis itu menghela napas kasar, lalu mendaratkan bokongnya di lantai, ikut bergabung di depan komputer. Dia merogoh saku celana dan menunjukkan layar ponsel tempat di depan wajah laki-laki itu. "Nih, lihat! Ini semua karena lo!"

"Eh, awas! Gue gak bisa lihat, Re!" Ia berdecak saat tulisan K.O tercetak jelas di layar komputer. "Jadi kalah, 'kan?! Lo, sih!" dengkusnya sambil melempar headphone ke meja komputer. "Masalah apa, sih?" Ia melirik ponsel gadis itu sekilas. "Ribet, Re. Gue gak suka."

"Ini baru seminggu, Jun, dan lo udah putus lagi? Gue gak keberatan kalau cuma jadi penonton. Masalahnya, semua cewek-cewek itu pasti pada ngadu ke gue sampai rasanya gue lagi diteror." Ia memejamkan mata untuk beberapa saat, berusaha menetralkan emosinya. "Kalau lo cuma mau bikin gue pusing, jangan lewat cewek-cewek itu, dong."

Berbanding terbalik, sang tersangka masih bisa memasang wajah santai dan bersiap memulai game baru. "Gue gak ada niatan bikin lo pusing, kok. Suwer! Cuma kalau emang udah gak cocok, mau gimana lagi, Re? Kalau diterusin juga cuma bakal jadi hubungan palsu. Gue jadi lebih brengsek kalau gitu."

"Masa cuma gara-gara baju kalian putus, sih?"

Kali ini, laki-laki itu memalingkan pandangan dari komputer dan menatap gadis di sampingnya dengan atensi penuh. "Dia cuma ngadu cerita mentahnya. Yang asli lebih nyebelin lagi. Masa dia marah karena gue jemput pakai kolor sama kaus doang? Waktu dia telepon, gue itu lagi tidur. Udah untung gue selamat antar dia ke depan rumah. Bukannya bilang makasih, malah marah-marah gak jelas. Ribet kalau lanjut!"

"Wajar kali kalau dia marah karena lo secuek itu sama penampilan. Dia itu cantik, fasionable, temennya pada cetar. Jelas malu kalau lo jemput pakai kolor doang! Cewek mana yang gak ilfeel, coba?"

"Ada. Lo," jawabnya dengan cepat. "Lo gak marah karena gue jemput pakai singlet doang pas pulang dari Bandung kemarin."

Gadis itu—Freya Maheswari—hanya bisa garuk-garuk kepala. Sudahlah, tidak akan ada habisnya untuk berdebat dengan laki-laki rambut gondrong itu. Bukannya menemukan pencerahan, yang ada otak semakin mumet dan emosi semakin tak terkendali. Lebih baik mencari solusi membuat para mantan pacar laki-laki itu ikhlas menjomblo.

Let It Fall [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang