"Lee Siyeon apa-apaan kau ini?!"
Orang yang dipanggil itu tidak bergeming. Wajahnya yang datar tidak menunjukkan sedikit pun bahwa Ia goyah dengan gertakan Jiu. Kedua matanya melihat wanita itu yang berjalan kesana kemari sembari menyentuh keningnya.
Siyeon memejamkan matanya dan mengatur nafasnya. Dia tidak boleh lepas kendali di depan Jiu, dia tidak ingin membentak Jiu. Biarkan wanita itu meninggikan suaranya. Lagipula Ia lebih berhak marah karena apa yang Jiu lakukan.
"Dengar Siyeon-a! Sebenci apa pun kau dengan hal itu kau tidak boleh menyakiti dirimu sendiri! Jika kau lakukan itu kau juga menyakitiku kau tahu itu!" Tangan Jiu mengepal kuat.
"Katakan itu pada dirimu sendiri Jiu-ya"
"Apa maksudmu?! Kau.... Kau menyalahkanku atas apa yang terjadi padamu??"
Siyeon membuka kedua matanya. Tatapannya lurus ke depan, tanpa sedikit pun melirik Jiu.
"Kau tidak merasa telah melakukan kesalahan?" Tanya Siyeon.
"Tidak! Aku sudah mengatakan padamu! Aku tidak tahu dimana salahku! Bisakah kau memberitahuku apa salahku??" Jiu mengusap wajahnya kasar.
"Siyeon-a...... Aku benci harus bertengkar denganmu. Tidakkah kau mau membantuku?"
Kedua wanita itu saling diam. Jiu yang sudah mendekati pasrah dan ingin menangis. Di hadapan Siyeon yang tetap teguh untuk bungkam mempertahankan egonya. Keduanya tidak suka bertengkar tapi sama-sama tidak mau mengalah.
Dia salah, dia pikir dengan diam dan membiarkan Jiu bebas di sisinya, dengan statusnya sebagai kekasihnya Jiu akan sadar diri. Sayangnya, Jiu justru berkirim surat dengan wanita lain tanpa memberitahunya. Entah apa yang Kim Minji sembunyikan, tapi Siyeon tahu itu akan mempengaruhi hubungan mereka.
"Tidakkah kau merasa bersalah karena telah berkirim surat dengan wanita lain, tanpa memberitahuku?"
O_O_O_O_O_O_O_O_O_O_O
Yoohyeon berbaring tanpa melepaskan sepatu dan tasnya. Tinggal dua hari lagi. Dua hari lagi tanpa kopi dan setelah itu dia bisa kembali menikmati minuman penuh kafein itu. Sial sekali dia waktu itu.
Jika saja itu tidak terjadi mungkin saat ini dia sudah minum tiga gelas kopi dingin. Yoohyeon membuka matanya dan menatap langit-langit. Koreksi, jika saja itu tidak terjadi pada Jiu, maka dia tidak akan begini.
"Sekuat itukah?? Rasanya terlalu aneh untuk disebut suatu kebetulan"
Bagaimana tidak? Mereka baru bertemu, hanya mengenal sekilas satu sama lain. Darimana ikatan ini berasal?? Takdir? Masih ada orang yang percaya hal itu?
"Bukannya aku berusaha mengatakan tidak menyukainya..... Hanya saja..."
Ini salah. Dilihat darimana pun ini salah. Jika dia sudah berkomitmen dengan Yoobin maka dia harus berusaha mempertahankannya. Yang terjadi sekarang sama sekali tidak benar dalam hubungannya.
Yoohyeon bersusah payah mendapatkan hati Yoobin, maka dia juga harus bisa mempertahankannya. Di satu sisi dia memilih Yoobin untuk bersamanya, di sisi lain Minji dipilih oleh takdir untuknya. Yang mana yang harus dia pertahankan?
"You're home?"
[Kau sudah pulang?]
"Heum?? Ah.... I just came"
[Heum?? Ah.... Aku baru saja datang]
"Want it?"
[Mau?]
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer to Autumn
Hayran Kurgu"Permisi..." "Ada apa?" "Apa, kau punya ponsel?" "Tidak punya" "Apa, kau ada waktu sebentar?" "Aku tidak punya" "Kalau begitu, mau jadi sahabat pena denganku?" "Baiklah" Yoohyeon harus kembali ke Korea Selatan karena masalah lama yan...