[37] Lost hope

81 17 15
                                    

  Gahyeon menyambut Minji pulang. Dari cara temannya itu memeluknya Ia tahu ini hari yang berat. Ia bersyukur setidaknya Minji tidak pulang dengan air mata. 

  Berat tubuh Minji mengatakan segalanya. Mungkin ini bukan waktu yang tepatnya untuk mengatakan jika Ia baru saja menerima surat tagihan listrik.

"Tenanglah Jiu-ya, kau aman disini. Kau sudah di rumah" Ucapnya sembari menepuk-nepuk punggung Minji.

"Terima kasih Gahyeon-a, kau memang yang terbaik"

"Lebih baik darimu?"

"Tahu batasanmu" Tatapan Minji berubah sinis.

  Gahyeon mendampingi, menenangkan, dan merawat Minji. Meski begitu menyebalkan fakta itu tidak dapat diubah. Awalnya Minji juga tidak yakin menerima Gahyeon sebagai housemate-nya. Polos dan rakus, itulah kesan awal Gahyeon di mata Minji. 

  Keputusannya untuk menolak Gahyeon sudah bulat dan sudah Ia utarakan. Sedih memang melihat gadis itu pulang menembus hujan dengan punggung yang tampak sangat lelah. 

  Lalu bagaimana akhirnya mereka bisa bersama? Bukan Gahyeon namanya jika tidak tersesat. Mau Minji anggap itu sengaja pun tidak merubah keadaan bahwa tempat Gahyeon tersesat pasti di sekitar rumahnya. 

  Beberapa kali Ia melihat Gahyeon berbelok di jalanan rumahnya sampai melintas di depan rumah kecilnya. Padahal tujuan gadis itu jauh dari sini. Entah bagaimana caranya sampai kakinya bisa tidak mengenal arah seperti itu.

  Klise bukan? Karena kasihan dengannya, Minji menuntunnya pulang. Dia mengawal anak TK itu pulang setiap harinya. Bahkan Ia rela pulang berganti pakaian lalu menjemput Gahyeon di kampus untuk mengantarnya lagi. Gahyeon hanya perlu diberi patokan jelas yang tidak mungkin berubah. 

  Minji mengajarinya setiap hari, setiap mereka berjalan pulang. Bahkan mengujinya apakah Gahyeon ingat patokan-patokan yang Ia katakan. Sampai hari itu datang. Dimana akhirnya Gahyeon sudah bisa pulang sendiri.

"Dimana dia??" Minji dengan gelisah menunggu Gahyeon.

"Dia tidak bilang dia akan pulang sangat terlambat"

  Tiga puluh menit. Satu jam. Satu jam tiga puluh menit. Dua jam. Sampai akhirnya Minji mengantuk menunggunya di kursi taman kampus. 

  Bahkan payung yang Ia gunakan untuk menopang dagunya sampai terjatuh karena Ia sudah mengantuk. Menggelengkan kepalanya cepat, Minji akhirnya beranjak. Sampai benda gempal itu menabraknya.

"Eoh? Jiu-ya??"

"Oh?? Gahyeon-a! Kau darimana saja?!" Minji memperhatikan Gahyeon dari atas sampai bawah.

"Aku?? Ah! Aku dari rumah"

"E-eh? Dari rumah? Rumah temanmu?"

"Tidak. Dari rumahku. Kenapa?"

"K-kau pulang sendiri?? Kau serius?? Apa ada teman yang mengantarmu??"

"Aku pulang sendiri.....? Aku?? AKU?!!! Astaga aku tidak sadar!" Gahyeon menepuk keningnya.

"Aku terburu-buru pulang karena takut kehujanan! Tanpa sadar aku berlari keluar dan akhirnya sampai di rumah....."

"L-lalu?? Kau mau kemana sekarang?"

  Minji menunggu Gahyeon mengantri. Ia terus menerus melihat Gahyeon dengan tatapan sedih. Entah kenapa hatinya merasa senang dan lega, sekaligus sedih. 

  Seperti perasaan orang tua yang melihat anaknya sudah tumbuh begitu cepat. Minji tidak menyangka sudah selama ini membantu Gahyeon sampai akhirnya gadis itu sudah bisa mandiri.

Summer to AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang