Yoohyeon termenung sesaat di depan pintu. Ada masanya dimana Ia tidak ragu untuk membuka pintu hijau besar itu. Namun buku itu sudah berakhir dengan perpisahan yang cukup menyakitkan.
Entah bagaimana ingatan akan cerita itu masih melekat di kepalanya, bahkan Ia yakin bahwa saat ini Yoobin baru saja pulang. Pintu berdecit pelan mengantarkan Yoohyeon masuk. Kotak surat yang biasa Ia periksa setiap saat memastikan jika kekasihnya sudah kembali atau belum. Yoohyeon mengintip dan tidak menemukan kunci yang Ia cari, Yoobin sudah berada di rumah.
"What you need here?" Yoohyeon seketika tersentak ketika pemiliknya memergokinya.
[Apa yang kamu butuhkan disini?]
"I don't think there's something you need from this forgotten place" Ucap Yoobin sarkas.
[Aku pikir tidak ada yang kau butuhkan dari tempat yang terlupakan ini]
"Well... I.... I just don't looking for something"
[Ya... Aku.... Aku hanya tidak sedang mencari sesuatu]
"If you're looking for a letter, there's nothing here" Yoobin melangkah hendak keluar.
[Jika kamu mencari sebuah surat, tidak ada hal itu disini]
"I'm not into letters, that's old" Ucap Yoobin sebelum benar-benar pergi.
[Aku tidak suka surat, itu kuno]
Yoohyeon tersenyum kecut mendengarnya. Padahal wanita itu masih saja menyisipkan kertas-kertas bertuliskan angka ke dalam kotak surat. Walau buku itu sudah tersimpan sepertinya ada yang tertinggal.
Ia meraba saku celananya dan mengeluarkan gantungan kunci tersebut. Dengan perlahan Ia meletakkannya di sudut terdalam. Yoohyeon pergi dengan segera tanpa menutup kotaknya agar sang pemilik yang melakukannya. Berharap Ia memeriksanya dan menemukan benda yang hendak Yoohyeon kembalikan.
Padahal bisa saja Yoobin tidak menginginkannya kembali hadiah pemberian mantan kekasihnya. Tapi Kim Yoohyeon bukan seorang pencuri, Ia hanya wanita yang pernah mengisi hati Yoobin. Dan sekarang hal itu sudah berlalu.
Yoobin keluar dari sudut pohon menatap wanita itu sendu. Punggungnya tampak rapuh bahkan kesedihan terasa seperti menyatu dengan tulangnya. Tubuh tingginya terlihat kecil dan akan jatuh jika tanganya tidak segera menemukan tumpuan.
Yoobin juga tidak mengerti kenapa Ia bersembunyi. Tidak menemukan alasan kenapa air matanya jatuh hanya dengan menyaksikan orang itu menjauh. Padahal mulutnya dengan ringan mengucapkan kalimat yang menyakiti hati, tapi mengapa hatinya juga merasa sakit? Kisah mereka sudah kandas ketika Yoobin memutuskan bahwa masa depan bukan milik mereka.
"You still don't get it?" Minhwan muncul di hadapan Yoobin.
[Kau masih tidak mengerti?]
"I hope it doesn't happen again. Cause as a friend, make you see what you have to see ,it was the worse war in my mind" Minhwan melepaskan kacamata hitamnya, menawarkan saputangan kepada wanita di hadapannya.
[Aku harap itu tidak terjadi lagi. Karena sebagai seorang teman, membuatmu melihat apa yang seharusnya kau lihat, itu adalah perang terburuk dalam pikiranku]
"If she doesn't happy in your arms, you have to let her go. You can't be a kid that doesn't want to share his candy. Open your eyes dude, she's fine without you. You took a chance but it doesn't work at all"
[Jika dia tidak bahagia dalam genggamanmu, kau harus merelakannya pergi. Kau tidak bisa menjadi anak kecil yang tidak mau berbagi permennya. Buka matamu sialan, dia baik-baik saja tanpamu. Kau mengambil kesempatan tapi itu tidak bekerja sama sekali]
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer to Autumn
Fiksi Penggemar"Permisi..." "Ada apa?" "Apa, kau punya ponsel?" "Tidak punya" "Apa, kau ada waktu sebentar?" "Aku tidak punya" "Kalau begitu, mau jadi sahabat pena denganku?" "Baiklah" Yoohyeon harus kembali ke Korea Selatan karena masalah lama yan...