Sudah lama datang tapi baru sekarang Ia ingin membalasnya. Entah karena dorongan apa Ia kembali menarik secarik surat itu dan membacanya kembali. Rasa sakitnya masih sama dan rasa itu Ia tuangkan dalam tawa pelannya.
Yoohyeon bersandar dengan tangan terjuntai di lantai. Kertas kosong yang Ia siapkan belum tergores tinta sedikitpun. Nasib benar-benar sedang membencinya. Mungkin inilah karmanya karena telah menghancurkan hubungan orang lain. Ia harus kehilangan keduanya karena rasa egoisnya.
"You feel me and I was there when you need me the most" Ucap Yoohyeon dalam pejamnya.
[Kau merasakanku dan aku ada disana ketika kau paling membutuhkanku]
"But you just past me away when you feel it was safe for you" Yoohyeon memukul sofa perlahan.
[Tapi kau menghempaskanku pergi ketika kau merasa semua sudah aman untukmu]
"I wonder, can you feel my pain now? Hope you can be mine even we're so far apart. I lift you up when hell was bellow your feet. When the sky is where you live now, you forget about it like you the one who's fight for you good sake"
[Aku penasaran, dapatkah kau merasakan rasa sakitku sekarang? Berharap kau dapat menjadi milikku walau kita terpisah sangat jauh. Aku mengangkatmu ketika neraka tepat di bawah kakimu. Ketika langit sudah menjadi tempat tinggalmu sekarang, kau melupakannya seakan-akan kau adalah yang berjuang untuk kebaikanmu sendiri ]
Wanita itu mencari pena dan mulai menulis balasannya. Tapi ujung pena tidak meluapkan rasa sakitnya begitu saja. Ia berkelit dan mengkiaskannya seakan-akan Ia tidak tega melukai wanita itu. Semua inti rasa sakitnya sudah Minji tuliskan di surat sebelumnya.
Dan mungkin itulah yang Yoohyeon ingin sampaikan kembali. Karena dunia tidak berputar pada mereka, matahari tidak tunduk pada mereka, dan bulan indah dengan sendirinya tanpa ada mereka. Yoohyeon hanya ingin menegaskan kembali bahwa Ia setuju dengan takdir mereka. Saling berpapasan tanpa pernah saling menggenggam.
Merelakan dia bukan perkara mudah. Tulisannya mengungkap semua yang Ia inginkan namun dipendam begitu dalam. Berterima kasih karena setidaknya hadirnya bisa mengusir rasa sakit wanita cantik itu.
Meski Ia tidak terobati dengan kesembuhan Minji, Ia bisa apa sekarang? Semua tulisan wanita itu yang menginginkannya namun mengucap perpisahan sungguh egois. Ingin mendapatkan keduanya ketika orang yang menariknya ingin Ia untuk mereka sendiri. Ia juga yang menginginkan Minji dengan menuliskan bahwa Minji adalah miliknya.
"I hope we have our own wonderland"
[Aku harap kita punya taman impian kita sendiri]
O_O_O_O_O_O_O_O_O_O_O
Minji berjalan sendirian menuju suatu tempat yang sebenarnya tidak ingin Ia datangi. Mau memastikan ketika hanya kenangan yang dapat Ia lihat, apakah Ia merasa butuh akan sosok itu. Mungkin sebenarnya itu yang Ia inginkan. Berjalan sesaat ke masa lalu dan mencoba berpikir lebih realistis.
Mungkin benar Ia yang egois tapi tidak ingin mengakui. Mungkin bagi mereka yang tidak menjalaninya, memutuskan antara Siyeon atau Yoohyeon adalah pilihan yang mudah. Tapi Minji yang menjalani dan yang merasakan bahkan melihatnya sendiri, ini sangatlah sulit. Ia ingin kepastian namun tidak dapat membuatnya sendiri.
"Siapa yang ingin aku pilih?" Minji berhenti tepat di depan kampus mereka.
"Aku ingin bersama denganmu tapi kenapa aku tidak bisa tegas untuk itu"

KAMU SEDANG MEMBACA
Summer to Autumn
Fanfiction"Permisi..." "Ada apa?" "Apa, kau punya ponsel?" "Tidak punya" "Apa, kau ada waktu sebentar?" "Aku tidak punya" "Kalau begitu, mau jadi sahabat pena denganku?" "Baiklah" Yoohyeon harus kembali ke Korea Selatan karena masalah lama yan...