[36] Our day

89 20 15
                                    

  Siyeon menundukkan kepalanya sangat dalam. Mungkin di pandangan kalian, dia sangat jahat. Ya, Lee Siyeon memang orang yang jahat. Untuk mempertahankan kekasihnya dia akan melakukan apa saja. Termasuk melenyapkan bayang-bayang wanita asing itu dari otak Minji. 

  Wanita bermarga Kim itu boleh saja memikirkan orang lain. Tapi dia ingin dirinya yang mendominasi disana. Satu-satunya tempat dimana Siyeon bisa mengatakan dengan lantang kalau itu adalah miliknya.

"Maafkan aku jika selama beberapa hari ini aku menjadi sangat menakutkan bagimu. Aku tidak bermaksud sama sekali membuat diriku seperti terobsesi denganmu. Hanya saja...... Ada beberapa hal yang membuatku tidak ingin kau pergi"

"Kau tahu Siyeon...... Setiap saat, setelah aku bertemu dengannya kau menjadi mimpi buruk. Semakin aku takut padamu maka semakin berharga waktu yang kuhabiskan untuk membaca dan menulis balasan surat yang datang. Karena aku tahu, cepat atau lambat kekasihku akan menangkap basah perbuatanku" Ujar Minji sembari tersenyum kecil.

"Aku tidak rela kebahagian semuku, kau renggut begitu saja. Rasanya begitu menyakitkan harus menuliskan kalimat perpisahan pada orang yang rasanya telah merebut hatiku"

  Siyeon terdiam. Matanya tidak dapat berbohong bahwa Ia merasa sakit mendengarnya. Secara terus terang kekasihnya mengatakan hal itu. 

  Sebagai orang yang masih ingin bersama, tentu ini bukan hal yang ingin dia dengar. Ini konsekuensi dari tindakannya karena membuat Minji takut akan kehadirannya.

"Jadi, apa itu berarti kalau aku tidak lagi mendatangkan kebahagiaan bagimu?"

"Biasanya aku akan menyembunyikan ini, tapi kali ini aku ingin merubah kebiasaan buruk itu. Kuharap kau siap mendengarnya...." Minji menatap Siyeon untuk memastikan.

"Kau bukan lagi Siyeon yang aku tahu. Baik itu seorang Lee Siyeon, mahasiswi dengan wajah tampan yang begitu dingin. Atau bahkan Lee Siyeon, kekasihku yang bisa luluh hanya dengan menatapku. Sejak hari itu kebahagiaanku bersamamu luntur begitu saja. Kau tidak lagi menarik bagiku" Siyeon terdiam mengalihkan wajahnya keluar.

"Aku tidak mau mengambil langkah ini..... Maafkan aku jika pada akhirnya kau harus terluka. Tapi kau harus tetap bersamaku dan aku berusaha untuk itu. Apa pun bentuknya"


O_O_O_O_O_O_O_O_O_O_O


  Yoohyeon menekuk lututnya dan meringkuk di tempat tidur. Ranjangnya terasa sangat kosong tanpa Yoobin. Walau merasa lega tapi meninggalkan Yoobin benar-benar terasa berat meski keputusannya sangat bulat. 

  Mata indah itu terpejam berusaha menahan sedikit air mata yang menggantung di sudut matanya. Sekarang Ia tidak tahu harus melakukan apa. Bersama Yoobin Ia ingin terus belajar mengerti satu sama lain. Tapi pengertian itu harus mengantar mereka pada perpisahan. 

"Apa yang harus aku lakukan sekarang....."

  Yoohyeon perlahan membuka matanya. Kosong. Benar-benar kosong. Hampa. Yoohyeon menegakkan tubuhnya dan berjalan ke dekat jendela. Matahari baru saja turun dan langit perlahan menggelap.

"Malam musim panas yang menyedihkan bukan" Ucap wanita itu ke langit.

"Terkadang aku penasaran akan diriku sendiri. Setelah melakukan aku baru bertanya-tanya bagaimana aku melakukannya"

Ia melipat kedua tangannya pada bingkai jendela dan menyandarkan kepalanya yang penuh akan banyak hal yang ingin Ia pertanyakan.

"Apakah aku egois? Aku meninggalkan Ia yang benar-benar percaya padaku hanya untuk seorang wanita yang bahkan semesta sendiri belum memastikan bahwa Ia takdirku. Mungkin bagi dunia ini aku adalah mainan yang menarik. Mungkin setelah menghancurkan hatiku kau akan menarikku ke dalam dunia pararel" Yoohyeon tersenyum.

Summer to AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang