[40] Can I?

66 15 10
                                        

  Yoohyeon berjalan pulang dengan banyak belanjaan di tangannya. Wanita itu membelikannya banyak sekali makanan dan minuman. Belum sempat Ia menolak, telinganya sudah merasa sakit mendengar teriakannya. 

  Walau jujur Ia merasa tidak enak, siapa wanita itu sampai memperhatikannya sampai seperti ini? Yoohyeon tidak akan bisa membalasnya. Punggung kurus itu mendorong pintu. Setelah tertutup kembali Yoohyeon bergegas menuju dapur. Jalannya sedikit cepat karena lengannya sudah lelah dengan berat kantung belanjaan.

"Oh God~! Berat sekali!" Yoohyeon melengkungkan punggungnya ke belakang.

[Ya Tuhan~!]

"Tidakkah dia tahu tulang kurusku bisa patah hanya karena beberapa camilan??"

  Yoohyeon menggeram sembari menarik kedua tangannya ke atas. Setelah sedikit memutar pinggangnya ke kanan dan kiri Yoohyeon berjalan ke kamar. Meletakkan ponselnya untuk diisi daya, wanita itu masuk ke kamar mandi.

"Sekarang! Dimana aku harus menyimpan semua ini??"

  Yoohyeon memeriksa kabinet dapurnya dan menyingkirkan beberapa barang. Setelah merasa ada ruang yang cukup dia mulai bergerak menyusun belanjaannya. Beberapa kali terdengar suara senandung lagu atau suara kepala yang terbentu langit-langit lemari. 

  Setelah menyisakan satu camilan yang Ia ingin makan, Yoohyeon menutup pintu kabinet dan lemari. Yoohyeon berencana menghabiskan sore harinya dengan merenung sembari makan camilan. Iya, kembali merenung. Berkutat kembali pada kesedihannya. Ia bisa saja tertawa bagai tidak ada beban hidup dan menangis kembali setelahnya.

"Aku tahu Jiu itu sangat cantik, benarkan?" Yoohyeon memangku dagunya.

"Tapi kau tahu, sangat menyakitkan rasanya ketika aku harus berpisah dengannya.... Seakan-akan hal terakhir milikku direnggut paksa dariku" Hembusan angin membuat Yoohyeon menutup matanya.

"Aku sudah melihatnya. Foto kami, satu-satunya bukti bahwa aku dan Jiu pernah bahagia bersama. Menyedihkan sekali aku ini" Bibir itu tersenyum sinis.

"Padahal aku sudah punya kekasih dia juga begitu. Tapi kenapa aku lebih memilih dia? Padahal Yoobin sudah lebih dari cukup bagiku yang hidup sendirian selama ini" Kedua netra coklat itu menatap langit.

"Iya, benar.... Pertanyaan sebenarnya bukanlah kenapa dia pergi. Tapi mengapa aku memilihnya. Kalau aku tidak pernah memilihnya ini mungkin tidak akan terjadi. Mengapa? Bahkan setiap aku berucap begitu tidak pernah ada jawaban yang muncul. Hanya sekedar kalimat tanya yang berputar-putar mencari titik terang" Setitik air mata lolos begitu saja.

"Bisakah aku berjalan dengan membawa kenangan ini?"


O_O_O_O_O_O_O_O_O_O_O


  Minji hanya dapat termenung di dapur. Cetakan foto itu tergenggam di ujung jarinya. Seandainya dia bisa sekali lagi saja menggenggam tangan Yoohyeon. Dirinya bisa saja berganti setiap hari. Namun hatinya tetaplah sama. Bagai planet yang berputar mengelilingi matahari, hati, pikiran, dan tubuhnya selalu berputar dalam kenangan akan Yoohyeon. 

  Jejak yang ditinggalkan wanita itu begitu lekat. Bahkan jejak sepatunya tidak terhapus meski ombak berulang kali mengikisnya. Jangankan membakar foto itu, Minji bahkan tidak bisa membiarkan setetes air matanya mengenai tangkapan momen berharga itu.

"Seandainya.... Ketika kau berlari pergi waktu itu aku dapat menahanmu, bagaimana kisah kita sekarang?" Minji tersenyum.

"Aku bodoh benar bukan? Ketika aku percaya bahwa dengan perginya dirimu adalah cara terbaik bagi kita untuk bersama aku melupakan satu hal. Di dunia ini, tidak pernah hanya ada satu pilihan. Tidak akan pernah hanya ada satu akhir. Di depanku, aku bisa melihat bahwa kita menjauh untuk bersama. Aku lupa bahwa di belakangku, hal sebaliknya bisa saja terjadi"

Summer to AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang