3: Kultum

3.8K 461 25
                                    

Bekerja di daerah yang isinya mayoritas perkantoran kadang-kadang memberi keuntungan tersendiri. Salah satunya dalam hal mencari makanan. Tak perlu menempuh jarak yang cukup jauh dan menghabiskan waktu yang lama. Asalkan mau sedikit mengeluarkan usaha dan ada uang, perut pun akan langsung kenyang. Tinggal pilih, mau menghabiskan pulsa untuk menelfon atau membuang sedikit energi untuk memacu langkah.

Mayoritas penghuni kantorku lebih suka makan di luar daripada membawa bekal sendiri. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebiasaanku yang suka membawa bekal dari kosan. Hanya makanan sederhana, yang penting mengenyangkan. Karena aku cepat bosan makan makanan yang dibeli, terutama makanan yang berminyak sekaligus berbumbu.

Nasi, telur dadar dan saus sambal. Itu adalah makanan yang sering aku jadikan bekal makan siang agar tak harus keluar kantor, apalagi ketika cuaca tidak mendukung. Jika bosan makan telur dadar, aku menggantinya dengan nugget atau tahu tempe. Kalau lauk edisi mewah berupa olahan ayam. Semuanya tergantung keinginanku saja.

Kalau sedang semangat memasak pagi, aku bisa menyiapkan sayur dan sambal sendiri. Itupun sangat jarang karena aku tak terlalu suka sayur. Jika sedang malas, alternatifnya pun selalu tersedia. Saus sambal kemasan pun tidak kalah menggoda.

"Mbak Naya udah di sini toh." Kepalaku spontan mendongak menatap kearah pintu. Dua orang wanita yang berusia di atasku datang dengan seragam khas andalan mereka, perpaduan antara warna biru dengan putih. Dua wanita hebat yang baru masuk ini adalah teman mengobrolku saat makan siang.

Sudah setahun lebih aku bekerja di kantor ini dengan status masih sebagai pegawai kontrak. Memang benar aku iri pada orang-orang yang bekerja sebagai karyawan tetap. Bukan karena terjaminnya hidup mereka kedepannya, tapi karena mereka bersedia untuk melakukan pekerjaan yang sama selama beberapa lama.

Aku adalah golongan manusia yang gampang sekali merasa bosan. Sejak lulus kuliah, sudah banyak pekerjaan yang aku lakukan. Mulai dari pekerjaan sebagai admin di minimarket besar di kota kelahiranku, jadi customer service di bank, sampai akhirnya berakhir di kantor ini.

Bukan hanya gaji yang lumayan, aku juga dapat kesempatan belajar lebih banyak. Pengalamanku akan terus bertambah. Namun akankah aku akan memilih pekerjaan ini sebagai pilihan terakhirku? Entahlah. Semuanya sedang aku pertimbangkan dengan matang.

"Baru datang, Bu. Makanya langsung ambil tempat." Pantri adalah tempat yang selalu dijadikan kantin bagi kami bertiga. Awalnya aku tak sengaja melihat Bu Yani dan Bu Nina makan berdua di sini saat jam istirahat siang. Sejak saat itulah aku memutuskan untuk membawa bekal. Mumpung ada yang menemani aku makan, karena aku tak suka makan sendiri.

"Gak ikut staf keuangan yang lain Mbak? Katanya lagi ditraktir Bu Wati karena kemarin beliau ulang tahun." Tanya Bu Yani.

Bu Wati adalah manajer keuangan di kantor ini. Pekerjaanku langsung dibawahi oleh dirinya. Tahun lalu, aku juga ikut ditraktir karena ia berulang tahun. Namun kali ini semuanya sudah berubah semenjak sebulan yang lalu.

"Saya sudah terlanjur bawa bekal, Bu." Tak sepenuhnya berbohong sih. Karena memang ini adalah salah satu alasan kenapa aku tak ikut makan bersama rekan kerjaku. Alasan lainnya adalah karena aku tak diajak. Ah, jangankan diajak, aku pun tak tau kalau Bu Wati ingin mentraktir staf keuangan hari ini.

Bu Yani dan Bu Nina sudah membuka bekal mereka. Aku yang melihat hal itu ikut membuka makanan yang aku bawa. Saat bersama mereka, aku selalu diajarkan untuk bersyukur. Berat jadi mereka, tiap hari selalu bekerja keras untuk membersihkan kantor ini sekaligus melayani para karyawan yang membutuhkan sesuatu. Tapi aku tak pernah melihat wajah lelah itu. Mereka selalu tampak bersemangat tatkala bekerja.

"Andai aja anak Ibu udah gede, pasti Ibu jodohin sama Mbak Naya." Kalimat ini seringkali diulangi oleh Bu Nina seakan ia tak bosan sedikitpun.

"Kali ini apa alasannya?" Todong Bu Yani. Setiap mengatakan hal yang sama, alasan yang berbeda selalu ia katakan. Seperti 'Mbak Naya gak banyak maunya, jadi gak ribet, atau Mbak Naya bisa diajak susah, apa yang ada mau mau aja'.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang